NELAYAN DALAM PERANGKAP KEMISKINAN
(Studi Strukturasi Patron-Klien dan
Perangkap Kemiskinan Pada Komunitas Nelayan di Desa Tamalate, Kec. Galesong Utara,
Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan )
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu organisasi sosial yang turut
memberi kontribusi dalam membangun sistem sosial kenelayanan di Desa Tamalate,
Kecamatan Galesong Utara adalah kelembagaan ponggawa-sawi. Relasi Ponggawa Sawi di daerah penelitian ini
merupakan sebuah organisasi dalam sistem sosial kenelayanan di wilayah pesisir
yang tumbuh dan berkembang secara organik.
Di lokasi penelitian, dijumpai adanya keadaan
fisik rumah milik ponggawa yang permanen dengan segala perabotan dan fasilitas
lain yang dimilikinya. Ini merupakan realitas dari sebuah gambaran tentang
kesejahteraan ekonomi, yang sangat kontras secara tajam dengan gubuk dari
keluarga sawi yang berdinding bambu atau papan dengan perabot rumah yang sangat
sederhana. Kondisi ini merupakan salah satu indikator perbedaan tingkat
kesejahteraan yang tak terbantahkan dan sejak dahulu hingga saat ini, belum
banyak mengalami perubahan kearah yang lebih baik atau pada tingkat hidup yang
lebih tinggi.
Sudah banyak ahli di Sulawesi Selatan dari
berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu social yang telah menaruh perhatian dan melakukan
pengkajian tentang masyarakat nelayan dan telah menghasilkan karya-karya ilmiah
di bidang maritim. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian dan menulis
karya ilmiah pada bidang maritim, seperti; Sallatang (1982), yang menelaah
kelompok Pinggawa-Sawi dari sudut dan pendekatan sosiologi dengan memfokuskan pada Kelompok Kecil.
Kemudian, Resusun (1985) yang menelaah tentang beberapa aspek social ekonomi
nelayan bagang di Pulau Sembilan. Karim (1985), menelaah tentang aspirasi nelayan terhadap pendidikan anak di Cambayya,
Ujung Pandang. Kemudian Rizal (1985), yang melihat dari sudut dan pendekatan
sosiologis tentang pola perlakuan wanita masyarakat pelayar. Selanjutnya, Heddy
(1988), yang mengkaji ponggawa-sawi melalui pendekatan sejarah dan politik. Nurlan
(1993), yang menelaah Peranan
Wanita Nelayan secara
Struktural Fungsional. Salman (2002), yang mengkaji Pergeseran Hubungan Isdustrial pada Komunitas
Industri Pembuatan Perahu, Wisata Pantai dan Penangkapan Ikan melalui pendekatan sosiologis. Nur Indar
(2002) tentang The
Ponggawa-Sawi Relationship in Co-Management. Naping (2004) tentang Teknologi dan Perubahan Sosial Budaya Nelayan
Bagang Rambo. Anam (2007) tentang Analisis Manfaat Bantuan Kredit Pada
Masyarakat Pesisir.
Arief (2007) tentang Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Pada
Nelayan Kepulauan.
Dari beberapa hasil karya tulis disertasi yang
disebutkan di atas, terdapat
temuan-temuan, misalnya yang diungkap oleh Sallatang, (1982) bahwa hubungan
antara pinggawa dengan sawi merupakan hubungan kepentingan yang diperkuat oleh
hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan yang menyerupai
hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara pinggawa besar
dengan pinggawa kecil dan antara pinggawa besar dengan sawi.
Demikian juga, Salman (2002) menemukan bahwa
kondisi masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan menunjukkan hubungan patron-klien yang masih sangat signifikan jika dibandingkan
dengan masyarakat pertanian atau masyarakat perkotaan, sehingga kemajuan disisi
produksi akibat modernisasi yang berlangsung belum diikuti sepenuhnya oleh
pergeseran hubungan patron-klien ke hubungan industrial yang sifatnya
kontraktual.
Lebih lanjut, Arief (2007) menemukan bahwa
proses modernisasi perikanan melalui penetrasi capital telah menyebabkan
terjadinya pergeseran formasi social cara produksi subsisten ke cara produksi
komersial dan berlanjut ke cara produksi kapitalis. Sedang, Anam (2007) menemukan bahwa distribusi
pendapatan pada kelompok nelayan yang menerima bantuan kredit lebih baik,
ketimbang yang tidak menerima bantuan kredit.
Diantara berbagai karya ilmiah yang telah
dihasilkan, belum ada ahli yang mengkaji “dualitas antara struktur dan actor”
dalam “praktik-praktik social”masyarakat nelayan yang menghubungkan
dengan “perangkap
kemiskinan” (ketidakberdayaan,
kerawanan, kelemahan fisik, tingkat pendapatan rendah, dan isolasi). Karena
itu, kajian utama dalam penelitian ini difokuskan pada “dualitas struktur
dan actor yang mengkondisikan atau mengkonstruksi perangkap kemiskinan pada
masyarakat nelayan”.
Bagi Giddens, antara pelaku (agency)
dan struktur (structure) adalah hubungan “dualitas”. Selanjutnya, dikatakan bahwa “dualitas” selalu terjadi pada praktik sosial yang
berulang dalam lintasan ruang dan waktu. Dualitas itu terletak dalam fakta,
bahwa ia bisa dipandang sebagai aturan yang menjadi prinsip bagi tindakan di
berbagai ruang dan waktu, sekaligus ia merupakan hasil (outcome) dan sarana perulangan tindakan kita, yang
karenanya mengatasi ruang dan waktu Giddens (2010 : 50).
Struktur relasi Ponggawa-Sawi merupakan medium
(perantara) interaksi yang sekaligus sebagai instrument bagi para pelaku
jaringan. Selain itu, juga merupakan wadah bergeraknya fungsi dalam sistem
sosial kenelayanan. Karena itu, struktur kelembagaan ponggawa sawi cenderung
terbentuk dari adanya pemaknaan melalui relasi-relasi internal dan eksternal
kelompok yang berlangsung melalui prasyarat fungsional AGIL (adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) dalam proses social budaya yang
sangat panjang (usage, folkways, mores, dan custom).
Sama halnya dengan daerah pesisir lainnya, di
Desa Tamalate pekerjaan sebagai nelayan merupakan aktivitas yang unik dan
memiliki irama yang terkadang sangat mengasyikkan dan kadang sangat menegangkan. Ketika nelayan menarik ikan dalam
jumlah yang relatif banyak melalui penggunaan alat pancing (rinta) atau dengan
alat jaring (Ga’E), maka hal itu sangat menggembirakan dan mengasyikkan bagi
mereka. Tetapi, kalau secara tiba-tiba ombak dan badai datang menghantam perahu yang
mereka gunakan, maka disaat yang bersamaan, rasa takut dan ketegangan mulai muncul
pada diri nelayan.
Keunikan lain yang sering dijumpai oleh
nelayan saat melaut adalah terkadang gerombolan ikan yang dikejar oleh kelompok nelayan
secara tiba-tiba saja menghilang dan tidak diketahui kemana arahnya. Karena
itu, aktivitas menangkap ikan bagi pada umumnya nelayan seringkali dipandang
sebagai pekerjaan yang unik dan mengasyikkan, serta sangat misteri dan penuh
dengan tantangan yang beresiko tinggi.
Demikian juga, keunikan pada sector pekerjaan
sebagai buruh nelayan pada relasi patro-klien, dimana mereka tidak menggunakan perhitungan jumlah waktu
kerja (jam/hari) seperti yang umumnya berlaku terhadap buruh pada sektor
pekerjaan lainnya. Kemudian,
kapan waktu beristirahat dan kapan melaksanakan pekerjaan menangkap ikan adalah sesuatu yang tidak jelas
penjadwalannya, karena sangat bergantung pada kondisi di laut. Kemudian, upah
yang mereka terima tidak sebanding dengan segala jerih payah, waktu dan tenaga yang telah diupayakannya.
Nelayan merupakan pekerjaan yang memiliki
irama (ritme) yang sangat menarik dan mengkondisikan individu terpencil dari
ruang sosial budayanya. Umumnya nelayan Sawi hanya memiliki kesempatan yang
lebih besar dalam melakukan hubungan/relasi sosial dengan sesama anggota
kelompoknya. Itu
pun hanya dapat terjadi di saat kelompok melakukan aktivitas pelayaran dan
penangkapan ikan di laut. Hubungan
sosial dengan sanak keluarga dan tetangga dimana pemukimannya berada, sangat
terbatas dan hampir tidak ada sama sekali, sehingga ada kecenderungan nelayan
sawi terkucilkan dari lingkungan sosial-budayanya.
Aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di laut,
secara tidak disadari telah menjadi perangkap/jebakan bagi dirinya. Keasyikan dan keterpencilan dalam pekerjaan
sebagai nelayan, telah turut mempengaruhi kesempatan mereka untuk memperoleh
keterampilan lain dan kesempatan ekonomi yang lebih luas dalam rangka meningkatkan
kapabilitasnya. Dalam keadaan demikian, mereka (Sawi) kurang dan bahkan tidak
menyadari bahwa akumulasi tekanan structural yang terjadi secara eksternal dan
internal telah mengkonstruksi dirinya kedalam sebuah kondisi yang terjebak
dalam kemiskinan. Keadaan ini yang disebut oleh Giddens (2010 :64), sebagai “motivasi tak sadar” atau ketidakmampuan sawi memberikan ungkapan
verbal terhadap tindakan, sekalipun hal itu merupakan keinginan yang berpotensi
mengarahkan tindakannya.
Fenomena struktur signifikasi (struktur penandaan) dapat diamati melalui “sikap, perilaku, dan cara berpikir” sawi terhadap ponggawa dalam relasi-relasi social
kenelayanan. Struktur tersebut erat kaitannya dengan “skemata simbolik” (tata aturan kelompok) dan “wacana” (pemaknaan) yang berlangsung melalui“sarana
antara” pada “bingkai interpretasi” dalam relasi patron-klien. Sedang, interaksi
antara sawi dengan ponggawa dalam memainkan peran dalam kelompok, berlangsung
melalui komunikasi.
Tindakan signifikasi ponggawa cenderung
terjadi ketika sawi berada dalam posisi yang lemah (tidak
berdaya) atau sangat membutuhkan pinjaman uang dari ponggawa. Dalam keadaan demikian, maka cenderung
apresiasi tindakan ponggawa pada saat itu, seakan-akan menyerupai tindakan securitas sosial (social security) terhadap sawi dan keluarganya. Bahkan, terkadang dapat memukau
pikiran dan perasaan para sawi, terutama ketika mendapat sapaan sebagai
keluarga atau ketika diberi
pinjaman uang yang mendesak untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarganya. Melalui apresiasi tindakan signifikasi dari
ponggawa,
makakesadaran yang ada pada sawi sebagai orang yang memiliki posisi yang
sangat lemah, yang oleh Giddens
(2010) disebut sebagai “kesadaran
praktis”, yang telahmenunjukkan adanya
tindakan dahulukan selamat (safety first) dan selalu patuh terhadap skemata tata aturan kelompok serta segala
bentuk kebijakan ponggawa.
Fenomena “struktur dominasi” (struktur penguasaan) yang mencakup skemata penguasaan seorang
ponggawa terhadap sawi (politik) dan penguasaan barang (ekonomi). Struktur
tersebut berlangsung pada relasi patron-klien melalui “sarana-antara” berupa penguasaan peranan, fasilitas teknologi
(perahu, mesin, dan alat tangkap), modal operasional, dan penguasaan pemasaran
yang interaksinya melalui “kekuasaan” seorang ponggawa darat sebagai pemilik modal.
Di daerah penelitian ini, dominasi legitimasi
dari seorang ponggawa dalam menetapkan bagi hasil telah diperkuat dengan tidak
diterapkannya Undang-undang
Oleh Presiden Republik Indonesia Nomor. 16 Tahun 1964, Tentang Bagi Hasil Prikanan (UUBHP) dari pemerintah. Karena itu, bagi hasil yang didapatkan oleh
seorang ponggawa lompo sebagai pemilik modal (mesin, perahu dan alat tangkap)
semakin bertambah besar jumlahnya dibanding seorang sawi yang hanya bekerja
sebagai buruh dalam relasi keponggawan pada nelayan Parengge. Ini berarti bahwa
sistem relasi ponggawa-sawi yang dilakukan dengan cara produksi yang memisahkan
Sawi (klien) dengan alat-alat produksi (cara kapitalisme), maka keuntungan
(nilai lebih) tidak jatuh ketangan sawi, melainkan jatuh ketangan ponggawa.
Sistem kapitalisme ini yang disebut oleh Karl Marx (2005), dalam teorinya “Historis-Materialisme” yang kemudian untuk membuktikan hal itu, maka
Marx menciptakan “Mehrwert
theory”. Kemudian, bila teori
tersebut kita bawah pada sistem bagi hasil dalam komunitas nelayan, maka sistem
kapitalisme yang berlangsung pada relasi patron-klien telah menyebabkan terjadi nilai lebih atau kelebihan harga (Mehrwert)
bagi ponggawa, yang kemudian terjadi pemusatan (Konzentration) capital,
penimbunan (Akkumulation) capital, dan selanjutnya menciptakan
kesengsaraan (Verelendung) bagi kalangan sawi, yang kemudian akan
terjadi krisis (Crisis) yang menyebabkan kalangan sawi tidak lagi memiliki
kekuatan membeli karena miskin, dan akhirnya terjadi keruntuhan (Zusammenbruch)
Fenomena “struktur legitimasi” (struktur pembenaran atau pengesahan), yang menyangkut skemata
tata aturan normatif yang konkritisasinya berlangsung melalui
sarana-antara pada sistem norma (ketentuan adat, norma agama, dan kepastian
hukum), dan keteraturan interaksinya berlangsung melalui kekuatan sanksi yang berlaku pada relasi patron-klien.
Dengan demikian, “struktur signifikasi” (struktur penandaan) memiliki keterkaitan yang
erat satu sama lain dengan “struktur dominasi” (struktur penguasaan) dan “struktur legitimasi” (struktur pembenaran). Penguatan ke tiga struktur tersebut
berlangsung pada relasi patron-klien melalui rentang waktu yang sangat panjang
dan cenderung telah mengkonstruksi sikap, perilaku, dan cara berpikir sawi ke
arah kondisi yang tidak berdaya.
Dalam kehidupan sawi, masalah yang paling
mendasar dan sangat mengikat adalah tingginya ketergantungan pemenuhan
kebutuhan hidup keluarganya terhadap Ponggawa Darat. Karena itu, eksistensi seorang sawi dalam relasi sosial
kenelayanan berada pada posisi yang paling lemah dan cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga tanpa bantuan dari ponggawa.
Melalui pengalaman penelitian, dijumpai adanya
kecenderungan perilaku ponggawa terhadap sawi, seperti yang disebut oleh
Chambers (1983) sebagai
jebakan kekurangan/perangkap kemiskinan (deprivation Trap) dengan 5 (lima) mata rantai penyebabnya yang terjadi di Desa. Mata rantai penyebab kemiskinan yang
dimaksudkan adalah : (1) ketidakberdayaan, (2) kerawanan, (3) kelemahan fisik,
(4) kemiskinan, dan (5) isolasi.
(1) Ketidakberdayaan yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi,
dapat dikonkritkan pada ketidakmampuan (disability) mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengadakan modal. Dikatakan
demikian, karena umumnya para sawi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya
sehari-hari, hanya dengan meminjam dari ponggawa. Sama halnya dalam mengadakan
modal operasional selama di laut, para sawi juga meminjam dari ponggawa. Karena
itu, ketergantungan hidup pada ponggawa, telah mengkondisikan sawi selalu berada dalam posisi yang tidak berdaya.
(2) Kerawanan yang seringkali dialami oleh nelayan sawi,
dapat dikonkritkan pada rawan kecelakaan di laut atau resiko pekerjaan melaut
yang sangat mudah terjadi kecelakaan kerja. Dari sifat pekerjaan yang penuh
resiko kecelakaan, maka dibutuhkan adanya asuransi dari ponggawa kepada nelayan
sawi. Punggawa berdasarkan pengalamannya seringkali menanggung biaya-biaya kematian
dari sawinya. Punggawa laut (pemimpin operasional penangkapan ikan), juga
memberikan perlindungan terhadap sawinya selama berada di laut. Seorang ponggawa laut yang
memiliki pengetahuan yang dalam tentang mantera-mantera untuk menjinakkan
keganasan ombak dan badai (“Erang Passimombalang” dan “Erang Pa’boya-boyang”)
adalah menjadi modal kepercayaan dan keyakinan dari para sawinya dalam
hal keselamatan
pelayaran. Karena itu, kepercayaan sawi terhadap kemampuan pelayaran bagi
seorang ponggawa laut adalah sesuatu yang dapat menetralisasi keprihatinan sawi
dalam melaut.
(3) Kelemahan fisik yang dialami nelayan dapat dikonkritkan pada
sifat pekerjaan yang mengkondisikan bagi para sawi untuk bekerja sepanjang hari
dan atau sepanjang malam dalam ruang udara yang terbuka di tengah lautan.
Kemudian, waktu istirahat bagi nelayan yang sangat tidak menentu dan keadaan
status gizi yang rendah. Keadaan inilah yang diperkirakan telah mengkondisikan
fisik nelayan menjadi lemah. Karena itu, umumnya tingkat kesehatan nelayan
rendah bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat kesehatan pada kelompok kerja
lainnya, misalnya petani padi sawah/ladang, petani tambak, peternak, buruh
bangunan, dan sebagainya.
(4) Kemiskinan yang pada umumnya dialami oleh nelayan sawi,
dapat dikonkritkan pada tingkat pendapatan yang rendah. Selain itu, nelayan
sawi juga tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai tambahan pemenuhan
kebutuhan keluarganya. Padahal pekerjaan sampingan sifatnya sangat dinamis dan
dapat membawa sawi keluar dari perangkap kemiskinan. Dikatakan dinamis, karena
dapat digunakan berspekulasi (adu untung) yang memungkinkan bagi sawi untuk
terhindar dari kemiskinan atau paling sedikit dapat mengurangi berbagai
kesulitan ekonomi yang dialami. Demikian juga, tingkat keterampilan yang
dimilikinya sangat rendah, sehingga sangat sulit baginya untuk beralih
pekerjaan pada sector lainnya.
(5) Isolasi (pengucilan) sebagai keadaan hidup yang dialami oleh pada
umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan
aktivitas sehari-harinya harus berada di laut, sehingga mereka terpencil dari
lingkungan social budayanya. Keadaan hidup sawi yang terisolir dari dunia
social lainnya yang
telah mengkondisikan kapabilitasnya sangat rendah.
Lima mata rantai penyebab kemiskinan yang
diuraikan di atas, umumnya telah menyebabkan nelayan sawi sangat sukar keluar
dari jebakan kekurangan atau perangkap kemiskinan. Tentu saja dengan kondisi
tersebut menguntungkan bagi seorang ponggawa darat, terutama dalam hal
mempertahankan ikatan kerja dengan para sawi untuk pencapaian tujuan
ekonomi.
Berkenaan dengan eksploitasi yang tetap berlangsung pada hubungan patron-klien, maka Scott, mengatakan bahwa pada saat klien dalam kondisi paceklik atau ketika statusnya benar-benar rendah,
sehingga bila putus hubungan dengan patron dan ketika ia tidak punya alternatif yang
lebih rendah lagi, maka perlakuan apapun dibalik bantuan patron sulit dikaitkan dengan eksploitasi. Kemiskinan struktural yang dialami oleh pada umumnya
keluarga nelayan sawi,menyebabkan mereka selalu memiliki prinsip “safety first” atau dahulukan selamat (Scott, 1981), dan relah mengorbankan apa saja
demi keselamatan hidupnya(safety life), yang semata-mata hanya untuk kelangsungan hidup keluarga dan pengabdian terhadap ponggawanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa penelitian ini sangat urgen untuk dikaji secara sosiologis,
karena masih sangat langkah dan bahkan di Sulawesi Selatan belum ada pengkajian
dan karya ilmiah yang diterbitkan berkenaan dengan “dualitas antara struktur
dan aktor” dalam praktik-praktik social masyarakat nelayan yang
menghubungkan dengan “jebakan kekurangan” atau “perangkap kemiskinan” (ketidakberdayaan, kerawanan, kelemahan fisik,
tingkat pendapatan rendah, dan isolasi).
B. FOKUS MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Demikian luas dan kompleksnya masalah perilaku
sosial budaya masyarakat nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
laut dan perikanan, sehingga focus masalah studi ini secara khusus di setting kearah yang terkait
dengan struktur kelembagaan
nelayan, khususnya yang berkenaan dengan struktur signifikasi, struktur
dominasi, dan struktur legitimasi. Bagaimana kekuatan ke tiga struktur tersebut mengkonstruksi tindakan masyarakat
nelayan, khususnya nelayan sawi, sehingga mereka sangat sukar keluar dari
jebakan kekurangan/perangkap kemiskinan, adalah masalah yang paling utama dalam
studi ini. Karena itu, konstruksi masalah akan didasarkan pada bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik dan penjelmaan dualitas struktur-aktor dalam
praktik-praktik social pada dinamika relasi patron-klien pada tingkat kelompok nelayan di Desa
Tamalate, Kabupaten Takalar ?
2. Bagaimana keterkaitan antara praktik-praktik
social pada dinamika ikatan patron-klien dengan prasyarat fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi,
dan pemeliharaan pola pada tingkat komunitas nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar ?
3. Bagaimana keterkaitan antara dualitas struktur
pada tingkat ikatan patron-klien dan prasyarat AGIL pada tingkat
komunitas dengan realitas perangkap kemiskinan pada tingkat masyarakat nelayan
di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini
bertujuan untuk menemukenali secara mendalam tentang kecenderungan adanya
kekuatan struktur yang mengkonstruksi tindakan sosial budaya nelayan, sehingga
mereka terperangkap atau terjebak dari berbagai kekurangan yang dimilikinya.
Atas dasar itu, maka tujuan utama dalam penelitian ini adalah mengungkap
realitas sosial budaya tentang perangkap kemiskinan nelayan yang kemudian dapat
digunakan sebagai bahan keterangan ilmiah untuk menemukenali akar permasalahan
kemiskinan dalam relasi patron-klien. Selanjutnya, untuk tiba pada tingkatan
analisis tersebut, maka tujuan penelitian ini harus dapat :
1. Mendeskripsikan bagaimana karakteristik dan penjelmaan dualitas struktur-aktor dalam
praktik-praktik social pada dinamika relasi patron-klien pada tingkat kelompok nelayan di Desa
Tamalate, Kabupaten Takalar
2.
Mendeskripsikan bagaimana keterkaitan antara praktik-praktik social pada
dinamika ikatan patron-klien dengan prasyarat fungsi adaptasi, pencapaian
tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola pada tingkat komunitas nelayan di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar
3.
Mendeskripsikan bagaimana keterkaitan antara dualitas struktur pada tingkat
ikatan patron-klien dan prasyarat AGIL pada tingkat
komunitas dengan realitas perangkap kemiskinan pada tingkat masyarakat nelayan
di Desa Tamalate, Kabupaten Takalar
D. MANFAAT PENELITIAN
Secara akademis, keterangan ilmiah dari data empirik yang
diperoleh melalui penelitian ini, dapat menjadi pelengkap dalam pengembangan
teori-teori tentang struktur kelembagaan sosial. Selain itu, juga memberikan
sumbangan etnografi tentang sebuah masyarakat berprofesi sebagai nelayan yang terperangkap dalam kemiskinan
ditengah-tengah kekayaan sumberdaya laut dan perikanan. Adapun manfaat praktisnya, paling sedikit dapat
menjadi bahan informasi kepada pihak yang menaruh perhatian dan berkepentingan
dalam merancang dan merumuskan program-program kebijakan tentang penanganan
masalah kemiskinan dan pembangunan masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Secara
khusus, studi ini dapat memberi kontribusi analisis dalam memecahkan persoalan
kemiskinan masyarakat nelayan yang sejak dahulu hingga sekarang masih menjadi
lingkaran syetan.
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencaharian
hidupnya sangat tergantung pada
sumberdaya laut dan perikanan.
Pemandangan yang paling sering kita jumpai
bila kita memasuki perkampungan nelayan adalah adanya lingkungan hidup yang
kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan
tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah), rumah-rumah tersebut
umumnya dipunyai oleh ponggawa pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang
jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas
sangat tergantung pada individu yang bersangkutan.
Dari segi status
kepemilikan, nelayan dapat dikategorikan kedalam 5 (empat) kategori
utama, yakni : (1) Nelayan Sawi (buruh), adalah seorang yang
sama sekali tidak memiliki modal dan peralatan yang bekerja sebagai buruh pada
seorang ponggawa pemilik modal ; (2) Pemilik Modal Merangkap Ponggawa Perahu
(pemilik operasional) adalah
seorang ponggawa yang memiliki modal, alat tangkap dan perahu, serta memiliki
pengetahuan yang dalam tentang cara-cara penangkapan (erang pa’boya-boyang)
dan cara-cara pelayaran (Erang Passimombalang), dan memimpin langsung
operasional penangkapan ikan di laut ; (3) Ponggawa Caddi/Ponggawa Kecil,
adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari pemilik modal atau ponggawa
darat/ponggawa lompo untuk memimpin operasional penangkapan ikan di laut ; (4)
Ponggawa Darat (ponggawa lompo), yang dominan memiliki fasilitas
alat-alat penangkapan dan
pelayaran serta menyediakan bahan-bahan kebutuhan operasional bagi para sawi
bersama-sama dengan ponggawa laut (ponggawa perahu/ponggawa caddi) dan
sekaligus turut menanggung biaya-biaya kebutuhan hidup keluarga para sawi,
selama sawi berada dilokasi penangkapan; (5) Nelayan Tunggal (Pa’boya), adalah seorang
yang memiliki alat tangkap berupa pancing dan perahu katinting dan atau
lepa-lepa (sampan) yang dioperasikan sendiri (kepemilikan tunggal).
Nelayan merupakan salah satu masyarakat
marginal yang seringkali tersisih dari akomodasi kebijakan pemerintah. Problem
yang dihadapi masyarakat nelayan sangatlah kompleks, mulai dari yang bermuara
pada minimnya penghasilan mereka. Seperti halnya masyarakat petani dan buruh
(proletar), masyarakat nelayan pun tercekik jerat kemiskinan yang menyerupai
lingkaran setan (Wahyono, dkk, 2004).
Proses modernisasi pada masyarakat nelayan dapat dilihat melalui adanya perubahan teknologi
seperti fungsi
layar dan dayung pada perahu yang kemudian digantikan oleh mesin motor yang telah membawa perubahan peranan dan bagi
hasil serta turut merubah struktur sosial dalam relasi patron-klien. Demikian juga, pada penggunaan teknologi
pasang surut, seperti adanya
perkembangan dari alat perangkap “bandrong” (teknologi pasang surut). Kemudian berkembang melalui kombinasi
antara lampu strongking sebagai alat penerang untuk memikat ikan2 kecil
dan beberapa bambu yang
ditancapkan pada posisi yang dangkal (pesisir pantai) yang dibentuk menyerupai rumah
yang tak berdinding, serta pada bagian bawah dipadukan dengan alat tangkap jarring. Kemudian alat ini secara lokal diistilahkan oleh komunitas nelayan sebagai “bagang tancap”. Dalam periode waktu
yang cukup panjang, alat itu kemudian dikembangkan menjadi “bagang satu
perahu”, yang selanjutnya berkembang menjadi “bagang dua
perahu’, sampai
ke alat yang nelayan sebut sebagai “Bagang Rambo” (bagang listrik) yang sekarang
ini telah banyak digunakan oleh nelayan dari Palopo.
Menurut Salman (2006), bahwa modernisasi
perikanan tahun 1980-an telah memungkinkan kelas terpinggirkan ini tampil pada
puncak piramida sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa hadirnya teknologi gaE
memungkinkan mereka mereakumulasi modal dan mendiversifikasi usaha ekonomi.
Konstruksi sosial yang dahulu menempatkan mereka pada status rendah, dengan
prestasi ekonomi secara bertahap didekonstruksi, dan menempatkan mereka pada
status tinggi. Pengejaran status sosial, atau tepatnya perjuangan untuk
terciptanya konstruksi sosial baru, melebur dengan ‘siri’ sebagai dasar
motivasi.
Hasil penelitian Ishak Shari (1990) di Kuala Besut dan Kuala Setiu di Timur
Semenanjung Malasya, mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi moderen mempunyai dampak sosial yang sangat
merugikan para nelayan kecil. Sedang dalam sector tradisional, biaya peralatan
yang cukup rendah bagi nelayan, sehingga banyak nelayan mempunyai kesempatan
untuk memiliki sendiri perahu dan menjadi kapten pada unit penangkapan ikan itu
sendiri.
Selanjutnya, dikatakan bahwa kemampuan untuk
mengubah status seorang kru/sawi dalam struktur sosial kenelayanan, misalnya
dari kru/sawi untuk menjadi pemilik operator kecil, jauh lebih sulit karena
penghematan seorang Kru/Sawi sangat jauh lebih rendah dibandingkan investasi
modal yang diperlukan. Ini berarti bahwa ada suatu mekanisme kelembagaan yang
melanggengkan struktur sosial yang ada.
Menurut Kusnadi (2002), secara faktual ada dua faktor yang
menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan, yaitu faktor alamiah dan non
alamiah. Faktor alamiah disebabkan karena fluktuasi musim tangkap ikan dan
struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sementara faktor non alamiah
berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan,
ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga
kerja, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran hasil tangkapan dan belum
berfungsinya koperasi nelayan yang ada. Selain itu, masalah teknologi
konservasi atau pengolahan yang sangat tradisional, serta dampak negatif
orientasi produktivitas yang dipacu oleh kebijakan motorisasi perahu dan
modernisasi peralatan tangkap (revolusi biru) yang telah berlangsung sejak tiga
dasawarsa terakhir.
Selanjutnya, Kusnadi
(2002) mengatakan bahwa
kawasan laut yang begitu luas dan di dalamnya terkandung berbagai potensi
sumberdaya, dan bila dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya,
maka akan menjadi sumber
penghidupan masa depan bagi masyarakat. Selanjutnya, dikatakan
bahwanelayan yang kadangkala
diposisikan hanya sebagai pekerja di laut, telah diopinikan tidak memiliki
kemampuan yang signifikan dalam mengisi pemberdayaan bangsa, berbagai keraguan
tentang keahlian nelayan yang sesungguhnya tidak dimiliki oleh masyarakat lain.
Padahal keahlian spesifik dari nelayan ini merupakan keunggulan kooperatif yang
dimiliki bangsa ini. Karena itu, Nelayan sebenarnya dapat
menjadi pemicu utama dalam upaya meraih keberhasilan pembangunan perikanan dan
kelautan.
Dalam keadaan yang secara multidimensi
demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar dari
lingkaran kemiskinan dan begitu sulit untuk bersaing dalam pemanfaatan hasil
laut di era globalisasi sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan
penangkapan ikan, baik nelayan asing, maupun nasional, yang menggunakan
peralatan modern.
B. Kemiskinan
Istilah kemiskinan pada
dasarnya sangat konsepsional dan bersifat relative, sehingga untuk membatasinya
secara baku bukanlah pekerjaan mudah. Meski secara umum diungkapkan bahwa
istilah kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berharta benda
atau serba kekurangan.
Menurut Nawawi (2009),
yang mendasarkan pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels sebagai pendukung
teori demokrasi-sosial (Theory Social-Democracy), bahwa kemiskinan
bukanlah persoalan individu, melainkan persoalan struktural. Kemiskinan
disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber
kemasyarakatan.
Secara mendasar,
kemiskinan adalah suatu istilah yang negatif yang mengandung arti
kekurangan atau ketiadaan kekayaan materil. Ketiadaan atau kekurangan yang
demikian ini, jarang bersifat mutlak. Karena itu, maka istilah ini biasanya
digunakan untuk menggambarkan situasi ketidakcukupan yang terjadi atau dialami
secara berkali-kali dalam jangka waktu lama, baik mengenai ketidakcukupan dalam
hal pemilikan kekayaan, maupun dalam hal pendapatan yang diperoleh atau
diterima (Sallatang, 1986; 2-3).
Menurut Ismanto (1994:43), bahwa kemiskinan dapat
didefinisikan dari dimensi sosial, politik, dan ekonomi. Sehubungan dengan itu, dikenal adanyakemiskinan sosial,
kemiskinan politik, dan kemiskinan ekonomi. Kemiskinan sosial diartikan sebagai
lemahnya jaringan sosial dan struktur sosial yang kurang mendukung serta
keterbatasan akses bagi seseorang untuk meningkatkan sumberdaya yang ada
(Effendi 1993:202-203).
Sedang kemiskinan politik
yaitu ketidakberdayaan atau ketidakmampuan politik suatu kelompok, atau
golongan masyarakat luas dalam mempengaruhi proses alokasi sumberdaya (Bulkin,
1988:19). Kemudian kemiskinan ekonomi diartikan sebagai keterbatasan
sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan
ekonomi umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidup layak tersebut (Esmara, 1986:286).
Rustiadi, dkk (2007), mengatakan bahwa secara
hakiki kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan
seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat. Penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini
sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat
miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi
merendahkan.
Kemudian, Amartya Sen (Mikkelsen, 2001)
mengatakan bahwa ada inti yang absolut darI kemiskinan. Wabah kelaparan
berkaitan dengan ide tentang kemiskinan absolut, demikian pula ketidakmampuan dalam
menghadapi kehinaan sosial, dan ketidakmampuan dalam membesarkan dan mendidik
anak. Pemikiran mengenai kemiskinan berubah sejalan dengan berlakunya waktu,
tetapi pada dasarnya berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar (fundamental needs). Bagian dari standar hidup bukan barang atau
sifatnya, melainkan kemampuan untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan
barang atau pelayanan tersebut.
Kemiskinan adalah suatu pemikiran yang absolut
dalam lingkup kemampuan, tetapi seringkali mengambil bentuk relatif dalam
lingkup komoditas atau sifat. Kemiskinan pada dasarnya sangat konsepsional dan
bersifat relatif, sehingga untuk membatasinya secara baku bukanlah pekerjaan
mudah. Meski secara umum diungkapkan bahwa istilah kemiskinan diartikan sebagai
suatu keadaan yang tidak berharta benda atau serba kekurangan. Karena itu,
Hobsbawm (dalamInternational Encyclopedia Of The Social Sciences),
mengatakan bahwa kemiskinan mengandung tiga arti, yaitu : (a)
kemiskinan sosial (social
poverty), (b) pauparism
(keadaan jatuh menjadi miskin), dan (c) kemiskinan moral (moral poverty).
Menurutnya, kemiskinan sosial (social poverty) tidak hanya mengandung arti ketidaksamaan yang bersifat ekonomi,
misalnya menyangkut kepemilikan
kekayaan materil dan pendapatan, tetapi juga bersifat sosial, seperti adanya
perasaan rendah diri (inferiorty) dan ketergantungan. Selanjutnya, pauperism (keadaan jatuh menjadi miskin) diartikan
sebagai orang-orang yang termasuk kategori tidak mempunyai kemampuan untuk
memelihara dirinya sendiri sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan minimal
tanpa bantuan dari orang lain. Sedang, kemiskinan moral (moral poverty), erat kaitannya dengan nilai-nilai sosial
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, kemiskinan sebagai suatu
gejala ekonomi akan berbeda dengan kemiskinan selaku gejala sosial yang membudaya (budaya miskin). Kemiskinan ekonomi merupakan gejala
yang terjadi di sekitar lingkungan penduduk miskin dan seringkali dikaitkan dengan
masalah kekurangan pendapatan, sebaliknya sebagai gejala sosial yang membudaya lebih banyak terletak di
dalam diri penduduk miskin itu sendiri seperti sikap, perilaku, dan cara hidupnya.
Menurut ADB (1999), bahwa gejala-gejala
kemiskinan dengan mudah dapat diketahui seperti kekurangan gizi, buta huruf,
penyakit, lingkungan hidup yang serba kotor, tingginya tingkat kematian bayi
dan rendahnya harapan hidup. Namun demikian, untuk mengoperasionalkan konsep
kemiskinan tersebut masih diperlukan beberapa perkiraan kuantitatif untuk lebih
mempertajam permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya, pada dasarnya konsep kemiskinan
dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum, sehingga memungkinkan seseorang
dapat hidup secara layak. Karena itu, bila sekiranya tingkat pendapatan tidak dapat
mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan
miskin.
Dengan demikian, diperlukan suatu tingkat
pendapatan minimum, sehingga memungkinkan orang atau keluarga memperoleh
kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain, bahwa kemiskinan dapat diukur
dengan memperbandingkan tingkat pendapatan orang atau suatu keluarga dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar
minimum.
Dalam pada itu, tingkat pendapatan minimum
akan merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa
disebut sebagai garis
kemiskinan. Konsep ini lebih
dikenal sebagai kemiskinan
mutlak (absolut). Sebaliknya, jika tingkat pendapatan sudah
mampu mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang atau keluarga tersebut
masih berada dalam keadaan miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh
keadaan lingkungan kebudayaan sekitarnya daripada lingkungan orang atau
keluarga yang bersangkutan. Konsep ini dikenal sebagai kemiskinan relative (ADB, 1999:26).
Menurut Sayogyo
(1992), bahwa seseorang disebut miskin bila pendapatannya setara atau kurang
dari 320 kg beras per tahun per orang untuk di pedesaan dan 480 kg beras per
tahun per orang untuk di perkotaan. Selanjutnya, dikatakan bahwa cara yang
lebih akurat untuk menetapkan garis kemiskinan adalah dengan menghitung
Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap rumah tangga. Kebutuhan hidup dalam hal ini
adalah kebutuhan pokok (basic needs) yang meliputi makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan partisipasi masyarakat. Ukuran ini
akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya serta sesuai jenis-jenis
kebutuhan pokoknya.
Menurut Todaro (1995: 31-32), bahwa versi lain
untuk mendefinisikan kemiskinan absolute adalah: “tingkat pendapatan minimum
yang cukup untuk memenuhi “Kebutuhan Fisik Minimum” (KFM) terhadap makanan,
pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”. Angka KFM
ini berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke
daerah lainnya serta bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah
menentapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,-
per orang per tahun atas dasar harga konstan tahun 1980. Itu berarti seseorang
yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat
digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau berada dalam kemiskinan
absolute. Lebih
lanjut, dikatakan oleh Todaro (1995: 150-151) bahwa kemiskinan
relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau persentase penduduk
yang berada pada dan di bawah garis kemiskinan absolut dengan jumlah penduduk
keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang tingkat
kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui
distribusi pendapatan.
Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan mutlak
adalah penentuan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum. Kebutuhan minimum tidak hanya dipengaruhi oleh
adat dan kebiasaan, tetapi juga erat hubungannya dengan tingkat pembangunan,
iklim dan berbagai faktor ekonomi lainnya.
Berdasarkan realitas kehidupan yang sedang
dialami atau ringkat hidup masyarakat, khususnya yang berkenaan dengan tingkat
pendapatan, J. Rubinow (dalam Rubinow, Vol. XI-XII, 285) mengemukakan suatu klasifikasi yang
terdiri dari lima tingkatan. Bertrut-turut dari bawah ke atas masing-masing
adalah: (a) keadaan serba tak berkecukupan (insufficiency), (b) hidup secara
minimal (minimum subsistence), (c) hidup sehat dan tertib, wajar dan
berkepantasan atau layak (health and decency), (d) hidup menyenangkan (comfort),
dan (e) hidup mewah (luxury).
Charles Booth (dalam Rubinow, Vol. XI-XII,
286), menggunakan klasifkasi yang terdiri atas empat kategori atau tingkatan,
yaitu: (a) orang-orang yg sangat miskin (the very poor), (b) orang-orang
miskin (the poor), (c) orang-orang yang hidup senang (the comfortable), dan (d) orang-orang yang baik untuk
berbuat (the well to do).
Berbagai komponen telah dipergunakan dalam
mengukur tingkat kehidupan manusia. Sebuah laporan PBB, Report on International Definition and measurement of Standards
and Level of Living (selanjutnya disebut Laporan PBB-I)
mengemukakan 12 macam komponen sebagai dasar untuk memperkirakan kebutuhan
dasar manusia. Komponen-komponen
itu terdiri dari kebutuhan langsung maupun tidak langsung terutama yang
berkaitan dengan keadaan lingkungan kehidupan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari
kesehatan, pangan dan gizi, pendidikan, kondisi pekerjaan, situasi kesempatan
kerja, konsumsi dan tabungan, pengangkutan, perumahan, sandang, rekreasi dan hiburan,
jaminan sosial dan kebebasan manusia.
Dalam konsep kemiskinan relatif, garis kemiskinan
ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitarnya dari pada orang atau keluarga itu
sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Atkinson (dalam Anto dan Benget, 2004), bahwa suatu garis
kemiskinan tidak dapat ditentukan dalam keadaan vakum, tetapi dilihat dalam
hubungannya dengan lingkungan masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Sedangkan Townsend (dalam Suyanto dan Karnaji, 2005), mengemukakan bahwa
kebutuhan yang tidak terpenuhi hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika
dihubungkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif biasanya
diperkirakan dengan memperhatikan golongan berpendapatan rendah dari suatu pola
pembagian pendapatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa x % dari suatu pola
pembagian pendapatan golongan bawah akan berada dalam posisi kemiskinan. Atau
garis kemiskinan tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai statistik seperti
nilairata-rata (mean) atau median. Berdasarkan konsep
kemiskinan relatif ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila seluruh
tingkat kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Hal ini jelas merupakan
perbaikan dari konsep kemiskinan mutlak. Tetapi kelemahan konsep
ini terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa
“kemiskinan akan selalu berada di antara kita”. Dalam setiap waktu akan selalu
terdapat x% dari jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin. Sehingga
berbeda dengan konsep kemiskinan mutlak, yaitu jumlah orang miskin tidak
mungkin akan habis sepanjang zaman.
Untuk menghindari hal tersebut, Kincaid (dalam Wie, 1981) melihat masalah
kemiskinan dari aspek ketimpangan sosial. Semakin besar ketimpangan antara
tingkat kehidupan golongan atas dan golongan bawah, akan semakin besar pula
jumlah penduduk yang dapat dikategorikan sebagai miskin. Selanjutnya, Miller
dan Roby (dalam Suyanto dan Karnaji, 2005) juga melihat masalah
kemiskinan ini dari sifat dan ukuran perbedaan golongan 20% atau 10% penduduk
berpendapatan rendah dengan golongan masyarakat lainnya.
Namun demikian,
ketimpangan pembagian pendapatan dan kemiskinan bukanlah merupakan suatu hal
yang sama, walaupun mempunyai hubungan yang erat satu sama lainnya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Sen (dalam Wie, 1981), bahwa transfer pendapatan dari golongan
berpendapatan sedang ke golongan berpendapatan tinggi akan memperbesar tingkat
ketimpangan, tetapi sebaliknya golongan miskin tidak mengalami perubahan
apapun.
Menurut Rahardjo (1995), bahwa kondisi kemiskinan ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-beda, diantaranya :
1. Kesempatan kerja,
seseorang itu miskin karena menganggur sehingga tidak memperoleh penghasilan
ataupun kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau
tahunan.
2. Upah/gaji di bawah
standar minimum,
3. Produktifitas yang
rendah,
4. Ketiadaan asset,
5. Adanya diskriminasi, sex
misalnya,
6. Tekanan Harga, hal ini
terutama berlaku pada petani kecil dan pengrajin dalam industri rumah tangga,
7. Adanya penjualan tanah.
Lebih lanjut lagi, Mubyarto (1995)
mengemukakan bahwa kemiskinan di pedesaan masih tetap menyolok
sekurang-kurangnya disebabkan oleh 4 (empat) faktor berikut:
1. Adanya pemusatan pemilikan tanah
yang dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus bawah masyarakat
pedesaan. Jumlah penduduk pedesaan terus bertambah tetapi tidak dibarengi
dengan bertambahnya tanah (semakin kurangnya pemilikan tanah bagi petani
kecil).
2. Nilai tukar hasil
produksi dari warga pedesaan khususnya sektor pertanian yang semakin jauh
tertinggal dengan hasil produksi lain, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari
warga pedesaan.
3. Lemahnya posisi dari
masyarakat desa khususnya dalam mata rantai perdagangan,
4. Karakter struktur sosial
masyarakat pedesaan yang terpolarisasi.
Faktor-faktor penyebab kemiskinan di atas
menjadi perangkap bagi masyarakat untuk mencapai tingkat hidup yang lebih baik.
Sementara itu bila ditelusuri sebab-sebab kemiskinan dalam masyarakat, maka
menurut Kusnadi (2003), ada dua kategori yaitu bersifat eksternal dan internal,
kemudian dia menguraikan bahwa kategori yang bersifat internal adalah: (1)
keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan
modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja dalam organisasi
penangkapan yang dianggap kurang mengutungkan nelayan buruh, (4) kesulitan
melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi
terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang di pandang boros sehingga
kurang berorientasi kemasa depan.
Lebih lanjut, sebab-sebab kemiskinan yang
bersifat eksternal menurut Kusnadi, adalah: (1) kebijakan pembangunan perikanan
yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi
nasional dan parsial, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih
menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir laut karena
pencemaran dari wilayah darat, (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak
ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan.
Perkiraan mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia
berdasarkan konsep kemiskinan mutlak maupun konsep kemiskinan relatif. Melalui konsep kemiskinan
mutlak, perkiraan garis kemiskinan dikaitkan dengan kebutuhan minimum yang
diperlukan seseorang atau keluarga tanpa mengalami perubahan dari suatu periode
ke periode lainnya, sebaliknya konsep kemiskinan relatif memperkirakan garis
kemiskinan dari perkembangan tingkat kehidupan masyarakat secara keseluruhannya
melalui pendekatan konsep pola pembagian pendapatan atau nilai-nilai statistik. Perkiraan garis
kemiskinan nasional berdasarkan pendekatan kebutuhan pangan telah dilakukan
oleh Esmara, Sajogyo, Ginneken, Booth, dan Gupta.
Di samping itu, perkiraan garis kemiskinan berdasarkan
pendekatan pengeluaran minimum telah dilakukan pula oleh Esmara, Sajogyo,
Perera, Ginneken, Hasan, dan Staff Bank Dunia (Development Policy Staff).
Selain itu, perkiraan garis kemiskinan internasional di dalam mengukur tingkat
kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut terlihat
dalam penelitian Esmara, Ahluwalia dan Staff Bank Dunia (interim report).
Selanjutnya, hampir seluruh perkiraan tingkat kemiskinan yang pernah
dilakukan di Indonesia
diperhitungkan dari konsep kemiskinan mutlak kecuali Esmara berdasarkan
pendekatan relatif. Namun demikian, perkiraan
yang pernah dilakukan oleh Esmara sukar dibandingkan dengan perkiraan yang
dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar. Garis kemiskinan
berdasarkan pengeluaran rata-rata untuk kebutuhan dasar hanya 67% sampai 81%
dari pengeluaran rata-rata keseluruhannya. Di samping konsep
kemiskinan relatif, Esmara juga telah mempergunakan pendekatan kemiskinan
mutlak.
Sedangkan Bank Dunia mengadakan beberapa perkiraan
mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia. Suatu studi yang
dilakukan oleh staff Bank Dunia memperkirakan tingkat kemiskinan penduduk di
daerah kota sebesar 18,7% dan di daerah pedesaan sebesar 50,2%. Sebaliknya, Gupta tidak
memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, tetapi mempergunakan
konsep kesenjangan kemiskinan sebagai dasar pengukuran tingkat kemiskinan di
Indonesia.
Selanjutnya, dikatakan
bahwa atas dasar karakteristik demografi dan penduduk
miskin teridentifikasi secara umum rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin
di Indonesia adalah 5-8 orang sedangkan yang bukan
miskin 4,5 orang, dan perbandingan antar-regional menunjukkan bahwa Jawa-Bali
mempunyai anggota keluarga lebih banyak dibandingkan luar Jawa-Bali.
Lebih lanjut,
dikatakan bahwa bila kita mengacuh pada pekerjaan kepala rumah
tangga ternyata pada umumnya mereka lebih banyak kepala rumah tangga
miskin bekerja sebagai pengusaha (berusaha sendiri) ketimbang sebagai buruh.
Sedangkan berdasarkan penghasilan rumah tangga miskin, sumber penghasilan
dibagi menjadi 4 (empat) yaitu, sumber penghasilan dari upah dan gaji,
penghasilan dari usaha, penghasilan dari transfer rumah tangga lain, dan
penghasilan lainnya. Penghasilan dari upah/gaji merupakan imbalan dari
jabatannya sebagai buruh, penghasilan dari usaha merupakan imbalan dari jabatannya
sebagai pemilik usaha, penghasilan dari transfer terdiri dari uang kiriman,
warisan, sumbangan, hadiah, hibah, dan bantuan. Sedangkan penghasilan lainnya
meliputi penghasilan dari sewa, bunga, deviden, pensiun, bea siswa, klaim
asuransi jiwa dan sebagainya.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan pola
pengeluaran rumah tangga miskin, maka hal ini dibagi atas pola
pengeluaran makanan dan non makanan. Dari sudut ini terlihat bahwa secara umum
porsi pengeluaran makanan dari rumah tangga miskin jauh lebih besar apabila
dibandingkan dengan porsi pengeluaran non-makanannya. Karena umumnya rumah tangga miskin masih
sangat mengutamkan kebutuhan primernya
dibandingkan dengan kebutuhan sekunder.
Pandangan Bank Dunia,
bahwa dari
aspek karakteristik sosial-budaya yang diwakili oleh tingkat pendidikan anggota
keluarga dan nisbah (pertalian
darah/hubungan keluarga) jumlah lulusan suatu
tingkat pendidikan terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah yang
bersangkutan. Nisbah (pertalian darah/hubungan keluarga) disini selain menunjukkan
tingkat partisipasi dalam memperoleh pendidikan dari anggota rumah tangga,
sekaligus menggambarkan tingkat keberhasilan anggota rumah tangga dalam
menempuh suatu pendidikan hingga selesai. Keberhasilan menempuh pendidikan
hingga lulus di pengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah ketersediaan
biaya, kemampuan dan kemauan fisik maupun mental para siswa untuk mengikuti
pelajaran / kuliah di bangku pendidikan, dan sebagainya.
Karakteristik lain dari masyarakat miskin dan terbelakang
khususnya di kawasan timur Indonesia di identifikasi oleh Syamsuddin (2002)
sebagai berikut :
1. Umumnya mereka tersebar di wilayah dan
pulau-pulau kecil
2. Mereka adalah kelompok masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut
3. Usaha mereka bersifat subsisten
4. Aksesnya terhadap sumber daya perikanan yang
dapat terjangkau (pantai) semakin terbatas karena kerusakan habitat ikan
bernilai ekonomis
5. Aksesnya terhadap pasar terbatas
6. Permodalan mereka lemah
7. Status kesehatan mereka rendah
8. Tingkat pendidikan mereka rendah
9. Harapan mereka terhadap masa depan ekonomi
keluarganya rendah
10. Mereka tergolong usia produktif tapi belum
berproduksi secara optimal
11. Mereka merupakan pencari kerja dan penganggur.
Selama ini, berbagai hasil kajian penelitian
tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan telah mengungkapkan bahwa
sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau
nelayan-nelayan kecil (sawi), hidup dalam kubangan kemiskinan.
Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan,
diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling
penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari
sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2006).
Lebih lanjut lagi, Kusnadi, 2006
mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan:
a. Belum adanya kebijakan dan aplikasi
pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau
terpadu di antara para pelaku pembangunan,
b. Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil
tangkap) sehingga aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan
berlangsung terus,
c. Masalah isolasi geografis desa nelayan,
sehingga menyulitkan keluar masuknya barang, jasa, kapital, dan manusia.
Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
nelayan,
d. Keterbatasan modal usaha atau investasi
sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya,
e. Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif”
dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan
masyarakat nelayan,
f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak
sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup,
g. Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah
sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka,
h. Lemah karsa (Prof. Herman Soewardi).
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat
kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan, lebih banyak disebabkan karena
faktor-faktor sosial ekonomi yang erat kaitannya dengan karakteristik
sumberdaya dan teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud telah
membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Karena itu, Smith (1776) yang
mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia, serta Anderson
(1972) yang dilakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang tiba
pada kesimpulan bahwa kekacauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap
tinggal atau bergelut dengan kemiskinan.
C. Perangkap
Kemiskinan
Berdasarkan hasil studi Chambers di Asia
Selatan dan Afrika, Soetrisno (Awan Setya D.et.all, 1995), menyimpulkan bahwa
inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut dengan “deprivation
trap” (jebakan
kekurangan). Di dalam “deprivation
trap” (jebakan
kekurangan) tersebut terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit
kehidupan keluarga miskin, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan
fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima
ketidakberuntungan tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga merupakan “deprivation
trap” ini.
Dari lima ketidakberuntungan yang disebutkan
di atas, menurut Chambers ada dua hal yang memerlukan perhatian serius, yaitu
(1) kerentanan dan (2) ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis
ketidakberuntungan yang sering menjadi sebab orang miskin menjadi lebih miskin.
Berdasarkan ciri-ciri kemiskinan tersebut, maka apabila dalam konsep
pembangunan manusia ditunjukkan dengan kemajuan manusia atau derajat manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka kemiskinan ditunjukkan dengan
ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kata lain, antara
pembangunan manusia dan kemiskinan merupakan kondisi yang masing-masing
menempati kutub yang berlawanan. Karena itu, Chamber yang juga dikutip oleh
Mikkelsen (2001) mendefinisikan kemiskinan sebagai “suatu keadaan melarat dan
ketidakberuntungan, suatu keadaan minus (deprivation)”, bila dimasukkan dalam
konteks tertentu (India), hal itu berkaitan dengan “minimnya pendapatan dan harta,
kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan”.
D. KERANGKA
PEMIKIRAN TEORITIK
Pokok pikiran yang dirumuskan oleh Giddens ke
dalam apa yang ia sebut sebagai Teori Strukturasi, adalah bahwa tidak ada
‘struktur’ tanpa ’pelaku’ dan tidak ada ‘tindakan’ tanpa ‘struktur’.
Selanjutnya, atas dasar perspektif strukturasi, lalu ia kembali menginterpretasi
berbagai permasalahan besar yang berkenaan dengan modernitas, globalisasi,
Negara (bangsa) dan sebagainya.
Giddens, pada mulanya menempatkan posisi
pendekatannya melalui kritik terhadap beberapa mazhab pemikiran ilmu social,
seperti Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Kemudian, ia mengarahkan kritikannya pada
pemikiran sosiologi klasik yang telah menjadi mazhab sekarang ini, seperti
fungsionalisme imperatives Talcott Parsons, interaksionisme-simbolik Erving
Goffman, marxisme, strukturalisme Ferdinand de Saussure dan C. Lévi-Strauss,
dan sebagainya (Herry-Priyono, 2003: 6-7).
Pandangan strukturalis-positivistik dan voluntarisme-interpretatif melihat hubungan antara struktur dan actor
sebagai dualisme. Bagi Giddens, dualisme adalah tegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, voluntarisme dan determinisme. Selanjutnya, subyektivisme dan voluntarisme merupakan cara pandang yang mengutamakan
tindakan atau pengalaman actor (individu) di atas gejala keseluruhan. Sedang, obyektivisme dan determinisme adalah cara pandang yang cenderung mengutamakan gejala
keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu (actor). Karena itu, teori
strukturasi tidak melihat struktur dan actor (agen) sebagai dua hal yang bersifat dikotomi
atau tak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain; agen dan
struktur ibarat dua sisi dari satu mata uang logam (dwi rangkap); agen dan
struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas
manusia. Dengan demikian, maka seluruh tindakan social memerlukan struktur dan
seluruh struktur memerlukan tindakan social (Ritzer, 2008: 508).
KETERKAITAN STRUKTURASI DAN FUNGSIONALISME
IMPERATIVE PADA
RELASI PONGGAWA-SAWI
1. TEORI STRUKTURASI (GIDDENS)
Pada dasarnya, Teori Strukturasi Giddens yang
memusatkan perhatiannya pada praktik social yang berulang adalah sebuah teori
yang menghubungkan antara agen dan struktur. Berstein mengatakan dalam Rizter
(2008: 508) bahwa “tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk
menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen
dan struktur”.
Berkaitan dengan itu, menurut Giddens (1984: 29), bahwa setiap struktur
besar memiliki tiga gugus struktur yang membangunnya. Ketiga gugus struktur itu
adalah: (1). Struktur signifikasi yang berkaitan dengan skemata simbolik dan
wacana; (2). Struktur dominasi, yang mencakup skemata penguasaan atas orang
(politik) dan barang (ekonomi); dan, (3). Struktur legitimasi yang berkaitan
dengan skemata aturan normatif yang tertuang dalam tata hukum/aturan main.
Pada gambar di atas, menunjukkan bahwa tingkat
stabilitas dan fluktuasi suatu struktur jaringan akan ditentukan oleh
keseimbangan hubungan dalam tiga gugus tersebut. Mengenai terbentuk dan
berubahnya suatu struktur jaringan itu, ada tiga pengandaian penting yang
diajukan dalam teori strukturasi ini (Giddens, 1984 : 16-25).
(1). Struktur jaringan diandaikan sebagai medium
(perantara) interaksi sekaligus juga sebagai instrument bagi para pelaku
jaringan. Konsekuensinya, struktur jaringan bukan hanya memiliki dimensi untuk
mengekang (constraint) perilaku actor (individu) supaya sesuai dengan
norma-norma dan regulasi-regulasi yang ada di dalamnya.
(2). Dengan tingkat otonomi yang dimiliki para
pelaku jaringan, baik individu maupun organisasi, mereka memiliki apa yang
disebut sebagai kemampuan mawas diri, self-reflection (Giddens,
1984 : 41-45). Dalam arti, bahwa para pelaku jaringan dianggap memiliki
kapasitas kekuasaan yang kuat (agential power) untuk mengubah dan atau
memepertahankan struktur jaringan.
(3). Adanya interaksi-interaksi yang terjadi
secara berulang-ulang yang didasari pada kepentingan praksis (bidang
kehidupan), yang akan membentuk dan mengubah struktur itu (Giddens, 1984 :
162-213).
Dengan demikian, tiga
pengandaian dalam teori strukturasi yang diuraikan di atas, dapat dipahami
bahwa terbentuknya dan berubahnya struktur jaringan terjadi lewat hubungan
dualitas antara struktur jaringan dan tindakan-tindakan para pelaku jaringan.
Selanjutnya, meskipun agent (aktor) memiliki peran penting dalam proses interaksi,
namun struktur juga memiliki peran yang menentukan (Lihat: Giddens dalam
Priyono, 2003). Perilaku sosial para
actor diarahkan, dibatasi, dibentuk, dan bahkan dikerangkai oleh struktur yang
dapat saja terjadi dalam tataran tindakan yang berupa struktur signifikasi,
struktur dominasi, dan struktur legitimasi.
Lebih lanjut lagi,
dikatakan bahwa cara berpikir para actor, aturan main yang mengkerangkai
relasi, serta pola distribusi sumberdaya sangat mempengaruhi pilihan perilaku
para actor yang terlibat dalam jaringan. Sebagian atau semua struktur ini bisa
menghalangi (constraining) atau pun memberdayakan (enabling) para
actor untuk mengelola interaksi horizontal antar actor. Karena itu, untuk dapat
mengelola jaringan dengan baik, para actor (individu) berkepentingan untuk
merestrukturasi tiga gugus struktur secara berkelanjutan agar tipe struktur
yang menghalangi (constraining) bisa digeser menjadi memberdayakan (enabling).
Ketiga gugus besar struktur di atas, memiliki keterkaitan
satu sama lain dan merupakan satu kesatuan unit analisis, yakni ;
Pertama, struktur signifikasi (signification) cenderung
menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kategori
tindakan yang terkandung dalam struktur penandaan atau struktur signifikasi (signification) dapat
digambarkan melalui tindakan sekuritas sosial (social security) seorang
ponggawa terhadap keluarga nelayan (sawi). Misalnya, ketika kelompok nelayan
sawi masih berada di laut untuk melakukan pengumpulan produksi, lalu kemudian
keluarganya membutukan tambahan biaya hidup atau biaya kesehatan dan lain-lainnya
yang mendesak, maka ponggawa lompo bertanggungjawab memberi pinjaman kepada
keluarga sawi (fungsi Ponggawa sebagai lembaga perkreditan). Demikian juga,
ketika adanya kebutuhan akan biaya-biaya upacara lingkaran hidup (life cycle) bagi keluarga
sawi, maka ponggawa berkewajiban untuk membantu. Tataran tindakan ini merupakan
wacana yang terkandung dalam struktur penandaan atau struktur signifikasi, yang
dimaknai seakan-akan tindakan ponggawa telah menyelamatkan permasalahan sosial
budaya dan ekonomi keluarga mereka. Namun semua itu,
tidak lain dari keterikatan sawi melalui ketergantungan utang-piutang yang
harus dilunasi. Demikian juga, bagaimana seorang
ponggawa dalam memperlakukan sawinya yang seakan-akan sebagai kerabat dekat
atau menyerupai keluarga (pseudo khinsip), merupakan penjelmaan “tidakan
penjinakan” (domestication) dalam membangun struktur kepercayaan dan
keyakinan seorang sawi terhadap ponggawa. Tindakan penjinakan (domestication)
seorang ponggawa terhadap sawi dimaksudkan bahwa selain berupa pengakuan
sebagai keluarga (Pseudo Kinship), juga terkadang berupa pemujian (recommendation)
terhadap kinerja sawi. Sehingga, diluar kesadaran seorang sawi, dengan segala
bentuk tindakan penjinakan yang dilakukan oleh seorang ponggawa, telah membuat
sawi merasa terpesona terhadap perlakuan ponggawanya. Semua itu, berimplikasi
terhadap struktur penguasaan atau struktur dominasi seorang ponggawa terhadap
perasaan dan cara berpikir sawi. Hal ini yang disebut oleh Giddens (2010: 64) sebagai “motivasi tak sadar” yang merupakan ketidakmampuan
memberikan ungkapan verbal (kata/lisan) terhadap tindakannya, meskipun hal itu
merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakan sawi.
Kedua, struktur penguasaan atau struktur dominasi (domination),
dimaksudkan bahwa selain keterkaitannya dengan penguasaan
terhadap perasaan dan cara berpikir sawi (kepribadian), juga penyediaan biaya operasional yang merupakan pinjaman modal kelompok
yang harus dibayar setelah produksi, sampai dengan penyediaan alat-alat
produksi, dan pemasaran produksi yang semuanya dikuasai oleh seorang ponggawa lompo. Ini berarti
bahwa struktur dominasi mencakup penguasaan atas sawi (politik)
dan barang/hal (ekonomi) atau dalam arti penguasaan untuk pencapaian tujuan politik dan ekonomi.
Ketiga, struktur
pembenaran/pengesahan atau struktur legitimasi (legitimation) dapat
digambarkan melalui tindakan ponggawa lompo dalam menetapkan kebijakan bagi
hasil dalam kelompok (fungsi lembaga bagi hasil) yang harus disetujui/diterima
sebagaimana yang ditetapkan oleh ponggawa lompo. Demikian juga, kebijakan dalam
memasarkan hasil produksi (fungsi lembaga pemasaran) yang harus diterima dan
disetujui oleh kelompok sebagai suatu tindakan pembenaran/pengesahan terhadap
kebijakan ponggawa lompo. Struktur tersebut
menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata aturan kelompok
ponggawa-sawi.
Dalam kondisi demikian, maka seorang sawi cenderung berada dalam posisi yang
sangat lemah, karena disamping memiliki peranan yang sangat
kecil, juga tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya
bantuan dari seorang ponggawa. Sebaliknya, ponggawa cenderung berada dalam posisi yang
sangat kuat, karena disamping ia sebagai pemilik modal, juga sebagai orang yang
memiliki atau menguasai peranan dalam praktik-praktik sosial relasi
patron-klien. Konsekuensi dari segalah pemenuhan kebutuhan sawi dan keluarganya yang menjadi tanggungan seorang ponggawa, adalah bahwa seorang sawi cenderung merasa tidak memiliki tantangan hidup dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari. Karena itu, kebiasaan inilah yang menjadi daya tarik atau yang
mendorong seorang sawi memiliki kesetiaan yang sangat tinggi dan selalu
terpesona dengan fasilitas materi, fasilitas moral, dan fasilitas kepercayaan
dari seorang ponggawa, yang secara tidak disadari (“kesadaran praktis”)
justru telah menjadi perangkap bagi dirinya.
Giddens (2010: 64-70) membedakan adanya tiga
dimensi internal actor (pelaku) yang berkaitan dengan (1) “motivasi tak sadar”,
(2) “kesadaran praktis”, dan (3) “kesadaran diskursif”. Bagi Giddens, “Motivasi
tak sadar” diartikan sebagai ketidakmampuan memberikan ungkapan verbal
(kata/lisan) terhadap tindakan, meskipun hal itu merupakan keinginan yang
berpotensi mengarahkan tindakan. “Kesadaran diskursif” berarti kemampuan membahasakan sesuatu,
dalam arti bahwa berdasarkan pada kapasitas individu dalam merefleksikan dan
memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan. Sedang, “kesadaran
praktis”, menunjuk pada kesadaran diri terhadap aturan berdasarkan pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa
diurai.
Dari ke tiga dimensi kesadaran pelaku, maka
kesadaran praktis merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai
tindakan dan praktik social lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana
struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik social.
Ada kalanya relasi sosial yang berlangsung antara
ponggawa dan sawi pada komunitas nelayan, seakan-akan menyerupai hubungan antar
kerabat dekat atau keluarga,
sehingga hubungan yang terjadi cenderung mengutamakan perasaan dari pada keuntungan
ekonomi. Keluarga yang dimaksudkan disini adalah “keluarga tiruan” atau
“keluarga imitasi” (Pseudo Kinship), yang merupakan penjelmaan dari
proses signifikasi yang berlangsung lama melalui konstruksi tindakan ponggawa
terhadap sawi. Bagi seorang ponggawa, selalu berupaya
agar bagaimana dapat menciptakan hubungan kekerabatan yang erat dengan
sawinya atau menyerupai hubungan antar keluarga, sehingga sistem relasi yang
berlangsung dapat terpelihara keseimbangannya secara otomatis (homeostatis).
Melalui pengalaman penelitian, bahwa
salah satu unsur dari cara berpikir yang dianut dalam relasi ponggawa-sawi pada
komunitas nelayan, ialah bahwa sesuatu yang dinilai tinggi atau yang utama
harus dapat mendasari pada setiap unsur atau bagian dalam sistem relasi,
misalnya nilai-nilai tentang “Siri na’ Pacce”yang selama ini turut mendasari relasi
antara ponggawa dan sawi, misalnya dalam sistem perekrutan anggota sawi, terutama pada masa lampau. Sehingga dengan demikian, maka proses
diferensiasi sosial yang berlangsung dalam komunitas nelayan pada masa itu telah menjelmakan hubungan kesesuaian, keserasian, dan
harmonisasi antara ponggawa dan sawi (Arifin, 1991).
Dengan demikian, bila teori strukturasi kita
bawa pada struktur relasi patron-klien yang dibangun melalui praktik-praktik
social kenelayanan yang berulang, maka eksistensi kekuatan struktur relasi yang
dibangun oleh aktor (ponggawa dan sawi), cenderung disebabkan karena
terpeliharanya interdependensi dan pengawasan kerjasama oleh system nilai dan
norma yang secara ketat diantara aktor. Selain itu, optimalisasi system
pengelolaan dan pemanfaatan relasi aktor dalam kelompok dilakukan secara
otonom. Sehingga dengan kondisi demikian, maka meskipun penetrasi globalisasi
yang terjadi selama ini semakin gencar, namun kekuatan relasi ponggawa-sawi
masih menunjukkan eksistensinya sebagai struktur kelembagaan yang kuat.
2.
TEORI FUNGSIONAL IMPERATIF (PARSONS)
Dalam karya ini, digunakan juga teori
fungsional imperatif dari Talcott Parsons sebagai bagian dari kerangka
pemikiran teoritik untuk membantu menjelaskan realitas sosial budaya patron-klien pada komunitas nelayan yang tak
dapat atau tak mampu dijelaskan melalui teori strukturasi Giddens.
Menurut Talcott Parsons (1990), kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai
sebuah sistem (social). Hal ini dimaksudkan bahwa
kehidupan sosial harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas
unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling berhubungan dan memiliki
ketergantungan satu sama lain dan berada dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, dikatakan bahwa sistem sosial juga dapat didefenisikan sebagai suatu
pola interaksi sosial
yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga
(institutionalized). Salah satu karakteristik dari sistem sosial adalah ia merupakan kumpulan dari beberapa
unsur atau komponen yang dapat kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kehidupan tersebut terdiri dari beberapa peran sosial, seperti peran dalam
bidang pemerintahan, peran dalam bidang pendidikan, peran dalam bidang
kesehatan, dan semacamnya. Karakteristik dari sistem yang disebutkan
memperlihatkan bahwa peran-peran sosial sebagai komponen sistem sosial itu
saling berhubungan dan saling ketergantungan satu sama lain. Karena itu, dalam
masyarakat mana pun tidak akan mungkin seseorang dapat hidup wajar, jika ia
bersikap soliter dan tidak mau peduli pada sesamanya (lingkungan sosialnya)
termasuk kepedulian terhadap lingkungan budayanya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sistem sosial cenderung lebih bersifat konseptual, yang berarti
keberadaannya hanya dapat dimengerti melalui sarana berpikir dan bukan melalui
sarana panca indera.
Premis mayor Talcott Parson
tentang ”functional imperatives” atau yang disejajarkan
pengertiannya oleh banyak ahli sebagai konsep functional structuralialah, bahwa (1).
Masyarakat adalah sebuah sistem, (2). Sistem sosial ini
eksis karena dibangun oleh sejumlah sub-sistem yang fungsional, (3).
Pengkomplesan sistem selalu mengarah pada keseimbangan (equilibrium). Karena
itu, dalam setiap sistem sosial,
terdapat empat fungsi penting, yaitu apa yang diistilahkan sebagai AGIL: (A). Adaptation, (G). Goal Attainment, (I) Integration, dan (L) Latensi.
Selanjutnya, Parsons (dalam
Ritzer dan Goodman, 2008) menjelaskan bahwa Adaptation (adaptasi) adalah sebuah sistem yang harus
menjalankan fungsinya untuk menanggulangi situasi eksternal yang gawat, sistem
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
kebutuhannya atau dirinya. Goal attainment (pencapaian tujuan) adalah sebuah sistem yang harus
menjalankan fungsinya dalam menentukan tujuannya dan mencapai tujuan-tuuan utamanya. Integration (integrasi) adalah sebuah sistem yang harus
menjalankan fungsinya untuk mengatur hubungan antar
bagian-bagian atau sub-sub sistem yang menjadi komponennya. Sistem juga harus
menjalankan fungsinya mengatur hubungan antar fungsi sistem lain, yakni Adaptation, Goal atteinment, dan Latensi. Sedang Latensi (pemeliharaan pola) dimaksudkan bahwa sistem harus menjalankan fungsinya
untuk melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun
pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Empat sistem tindakan yang
diuraikan di atas, pada dasarnya tidak muncul dalam
kehidupan nyata, tetapi lebih merupakan ”Alat Analisis” untuk memudahkan
kita memahami secara mendalam
kehidupan nyata. Agar lebih jelasnya sistem tindakan menjalankan fungsinya
masing-masing sesuai spesialisasinya dalam rangka menciptakan keteraturan dan
keseimbangan, maka perlu memadukan sistem ”Hierarki Sibernetika” menurut skema AGIL, yang
biasa disebut sebagai struktur sistem tindakan umum. (lihat: Talcott Parsons dalam Ritzer dan Goodman,
2008).
|
|
STRUKTUR SISTEM TINDAKAN
UMUM
A. Fungsi Adaptasi Pada Organisme Perilaku
Uraian teori diatas
menunjukkan bahwa, nampak sekali Parsons yang dijelaskan dalam
Ritzer dan Goodman ( 2008 : 115-135) mempunyai gagasan yang
jelas mengenai ”tingkatan” analisis sosial, termasuk hubungan antara
berbagai tingkatan tersebut. Dapat dipahami bahwa susunan hierarkisnya jelas,
dan tingkat integrasinya terjadi melalui dua cara, yakni (1). Masing-masing
tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau memberi kekuatan (energi)
yang diperlukan kepada tingkat yang lebih tinggi, sedang (2). Tingkat yang
lebih tinggi mengendalikan atau memberi pengaturan (regulator) pada tingkat
yang berada dibawahnya.
Dengan demikian,
bila konsep AGIL yang berlangsung dalam “Sibernetika Sistem”, kita bawah pada
praktik-praktik sosial kenelayanan, makajastifikasinya adalah bahwa bentuk-bentuk tindakan
yang dilakukan oleh seorang aktor
nelayan dalam menjalankan fungsi
dan perannya
pada relasi patron-klien, harus mampu menyesuaikan dirinya
(secara biologik) atau berfungsi secara organik, serta mampu mengubah
lingkungan eksternalnya (G, I, L). Dalam keadaan
demikian, maka secara tidak disadari
kekuatan adaptasi yang berada dalam kondisi
kesesuaian, keserasian, dan kebersamaan yang dilakukan dalam proses adaptasi
ekonomi, telah memberi energi yang
sangat berarti terhadap sistem kepribadian (Goal Atteinment) yang ada dalam komunitas nelayan. Proses adaptasiaktor nelayan yang
berlangsung pada tataran organisme perilaku,
terkadang ada yang membutuhkan proses sosio-psiko-biologik yang cukup panjang,
dan adakalanya adaptasi berlangsung tidak terlalu lama untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam proses interaksi antar aktor nelayan
(adaptasi pada tataran organisme perilaku) dengan lingkungan eksternalnya, terutama dalam
menjalankan fungsi pencapaian tujuan ekonomi (pencapaian tujuan pada
tataran sistem kepribadian), maka cenderung membutuhkan adanya
keteraturan internal sebagai dasar untuk terciptanya keseimbangan dinamis dalam
sistem organisme perilaku dan sistem kepribadian. Karena itu, semakin
tinggi tingkat keteraturan yang ada dalam proses adaptasi yang
berlangsung pada relasi patron-klien komunitas nelayan, terutama dalam melaksanakan atau
menjalankan fungsi adaptasinya terhadap pencapaian tujuan (Goal Atteinment), maka akan lebih
memungkinkan semakin besarnya energi yang dapat disumbangkan kedalam ”sistem
kepribadian” yang ada pada lembaga sosial kemasyarakatan nelayan.
B. Fungsi Pencapaian Tujuan Pada Sistem Kepribadian
Dalam sistem kehidupan komunitas nelayan, dimana
individu-individu (ponggawa dan sawi) pada relasi patron-klien harus dapat melaksanakan fungsi
mendefinisikan dan pencapaian tujuan utamanya, khususnya tujuan
ekonomi (Goal Attainment). Selanjutnya, fungsi mendefinisikan dan
pencapaian tujuan utama yang dilakukan oleh sistem kepribadian
di masing-masing aktor nelayan sebagai aktor politik (bersama dengan
penentu kebijakan dan strategi politik dalam komunitas nelayan), berlangsung dengan
menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk pencapaian
tujuan politik ekonominya. Proses pencapaian
tujuan politik ekonomi yang dilakukan oleh
individu-individu (ponggawa dan sawi) pada relasi-relasi sosialnya, sesungguhnya membutuhkan
adanya keteraturan pada berbagai tingkatan interaksi sosial yang ada dalam
lingkungan kepribadian pada relasi-relasi sosial kenelayanan. Karena itu, keteraturan yang ada
dalam lingkungan sistem kepribadian pada komunitas nelayan, sesungguhnya merupakan
totalitas fungsi sub-sub-sistem (AGIL) dari sistem
kehidupanmasyarakat nelayan. Dan jika fungsi
pencapaian tujuan politik ekonomi berada dalam keseimbangan yang dinamis, maka
dengan sendirinya akan memberi energi (kekuatan) kepada sistem sosial (social system). Sebaliknya, sistem
sosial akan mengendalikan atau memberi pengaturan yang lebih efektif terhadap
pola pencapai tujuan yang berlangsung pada tataran sistem kepribadian (Goal
Atteinment).
C. Fungsi intengrasi Pada Sistem Sosial
Sistem sosial (social system) tidak lain adalah suatu
sistem yang bersifat konseptual, yang berarti keberadaannnya hanya dapat
dimengerti melalui sarana berpikir dan bukan melalui panca
indera manusia. Sistem sosial yang
memiliki fungsi integrasi sosial, sesungguhnya berada pada
lembaga Hukum, Adat dan Agama. Selanjutnya, sistem sosial juga
dipandang sebagai bahagian dari ”sistem kehidupan manusia”, yang secara konseptual dalam sistem ini
terkandung unsur-unsur seperti: struktur sosial, pranata
sosial, peranan-peranan, interaksi-interaksi, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, komunitas, dan
masyarakat, dimana interaksi sosial
yang terjadi ketika aktor nelayan (ponggawa
dan sawi) atau kelompok nelayan menjalankan perannya,
harus berdasarkansistem nilai dan norma
(kepastian hukum, ketentuan adat, dan norma agama) yang berlaku dimasyarakat. Selanjutnya, interaksi
sosial yang berlangsung antarnelayan (ponggawa dan sawi) pada relasi patron-klien dalam
sistem sosial kenelayanan, harus didasarkan atas sistem nilai dan
norma (sistem budaya) yang disepakati bersama. Karena itu, setiap individu atau kelompok nelayan harus mampu menyesuaikan
dirinya
dan kelompoknya (adaptation) secara
serasi dan bekerjasama satu sama lain berdasarkan sistem nilai
dan norma yang ditaati dan dipertahankan bersama. Dalam kondisi demikian,
berarti keseimbangan dinamis yang memungkinkan terciptanya integrasi sosial
pada tataran sistem sosial kenelayanan, dapat berlangsung sebagaimana yang
diharapkan oleh seluruh mayarakat pendukungnya. Demikian pula, kekuatan
energi yang ada dalam sistem sosial (social system) kenelayanan yang diberikan
kepada sistem budaya (cultural system) kenelayanan, akan semakin besar dan
kuat. Demikian juga, fungsi pengaturan yang ada pada sistem sosial (social
system) terhadap sistem kepribadian (personality system) para aktor
nelayan, akan berlangsung secara
efektif. Dalam keadaan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
fungsi masing-masing sistem (A, G, I, L) berada dalam keseimbang yang dinamis. Ini berarti bahwa pada
gilirannya akan memberi energi yang besar terhadap pemeliharaan pola (Latensi)
yang berlangsung pada sistem budaya (cultural system) masyarakat nelayan. Dalam keadaan demikian,
jelas bahwa ”sistem sosial” telah manjalankan fungsi integrasinya dalam
kelompok-kelompok sosial nelayan, melalui berbagai
tingkatan peran yang ada dalam struktur sosial. Akan tetapi, jika seandainya
komponen-komponen atau bagian-bagian yang mengalami perubahan dapat berada
dalam kondisi keteraturan dan keseimbangan sesuai dengan harapan-harapan dari
sistem nilai dan norma yang mengendalikan atau mengaturnya, maka sistem sosial kenelayanan akan memiliki fungsi
integrasi pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam kondisi seperti itu, maka interaksi pada relasi
patron-klien dalam sistem sosial (social system) kenelayanan, akan memberikan kekuatan
atau energi yanglebih besar terhadap sistem
budayanya (cultural system). Semakin besar energi yang
diberikan oleh ”sistem sosial” terhadap ”sistem budaya” (cultural system), maka semakin tinggi
tingkat pengendalian atau pengaturan dalam pemeliharaan pola integrasi yang akan diberikan oleh sistem
budaya (cultural system) terhadap sistem sosial (social system).
D. Fungsi Pemeliharaan Pola Pada Sistem Budaya
Sistem budaya (cultural system) yang berfungsi sebagai pemeliharaan
pola dalam sistem sosial
nelayan, sesungguhnya ada pada lembaga pendidikan dan
keluarga. Sistem budaya (cultural system) melaksanakan fungsi
pemeliharaan pola (Latensi) dengan menyediakan seperangkat nilai dan
norma yang memotivasi individu-individu dan kelompok-kelompok keluarga nelayan untuk bertindak dalam
rangka integrasi sosial. Selanjutnya, sistem budaya yang berfungsi sebagai
latensi, dimana sistem ini harus menjalankan fungsinya untuk mengarahkan,
membatasi, memelihara, memperbaiki dan memotivasi individu termasuk pola-pola perilaku
sosial, guna menciptakan keteraturan
sosial dan keseimbangan yang dinamis pada proses interaksi dalam sistem sosial keluarga nelayan. Selanjutnya, proses
pelembagaan norma yang terjadi didalam struktur sosial kenelayanan melalui
berbagai proses sosial-budaya yang
sangat panjang, dan tentu saja diawali dari
tingkat rumah tangga kemudian berlanjut pada tingkat sosial yang lebih besar.
Karena itu, interaksi sosial yang selama ini berlangsung di dalam relasi-relasisosial kenelayanan, telah menunjukkan bahwa adanya keteraturan dan
keseimbangannya diwujudkan oleh kekuatan sistem budaya (fungsi Latensi) . Kekuatan pengaturan dan
keseimbangan yang tercipta dalam sistem sosial kenelayanan, sesungguhnya merupakan
fungsi pemeliharaan pola yang dijalankan oleh sistem budaya (cultural system).
Karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin kuat fungsi pemeliharaan pola
(Latensi) yang dijalankan oleh sistem budaya (cultural system), maka semakin
besar potensi integrasi sosial yang akan terwujud dalam
sistem sosial (social system) bersangkutan. Dalam keadaan demikian seperti yang telah
disebutkan di atas, maka energi (penguatan)
yang diberikan oleh sistem sosial (social system) kepada sistem budaya
(cultural system) akan lebih besar.
3. TEORI PATRON-KLIEN (SCOTT)
Menurut Scoot (1972), bahwa hubungan
patron-klien merupakan suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang
sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan
“status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan
sumberdaya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang
dengan status yang lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian
tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada
patron". Patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya,
ia juga menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan atau hadiah sebagai
imbalan atas perlindungannya.
Pelras (1981), mengatakan bahwa kata “patron”
berasal dari bahasa latin, yakni “patronus” yang berarti bangsawan, “klien” yang berasal dari kata “clien”yang artinya pengikut. Selanjutnya, dikatakan
bahwa hubungan patron-klien bermakna hubungan yang tidak setara antara seorang
bangsawan dengan sejumlah jelata pengikut berdasarkan pertukaran barang dan
jasa yang didalamnya ketergantungan klien kepada patron dibalas dengan dukungan
perlindungan patron kepada klien. Lebih lanjut, Pelras (1981) juga mengatakan bahwa menunjuk
pada kaitan antara patron-klien dengan kriteria askripsi dalam system status
masyarakat. Hal itu diartikan bahwa apabila seorang individu adalah bangsawan,
maka otomatis ia berstatus sebagai patron dan sebaliknya, apabila individu
adalah rakyat jelata/budak, maka ia berstatus sebagai klien.
Defenisi Pelras di atas, yang terlalu
menekankan hubungan patron-klien identik dengan hubungan bangsawan-jelata,
sangat tidak fleksibel digunakan pada relasi keponggawaan yang ada pada
komunitas nelayan. Dikatakan demikian, karena dalam relasi ponggawa-sawi,
status kebangsawanan bukanlah ukuran yang secara otomatis menempati posisi
sebagai patron (ponggawa).
Pada dasarnya, penelitian tentang relasi
patron-klien juga telah dilakukan oleh Sallatang (1981), Mappewata (1986),
Hafidz (1988), Suryani (1997), dan Salman (2002), yang mengungkapkan bahwa
realitas relasi patron-klien sangat mengakar pada komunitas nelayan di Sulawesi
Selatan. Kemudian dalam relasi tersebut, patron yang berstatus bangsawan sering
disebut ponggawa dan klien dengan status anak buah atau pengikut yang disebut
sawi, dimana relasi tersebut berbasis pada ketimpangan alat-alat produksi dan
modal.
Ahimsa Putra (1988), juga membuat kesimpulan
tentang relasi patron-klien di Sulawesi Selatan, bahwa kondisi yang dinyatakan
oleh Scott memang terbukti dalam tatanan masyarakat di masa lalu. Kondisi yang
dimaksudkan adalah adanya ketimpangan kekuasaan, ketimpangan kekayaan, dan
ketidakamanan social.
Menurut Scott (1972), bahwa agar hubungan
patronase dapat berjalan dengan mulus, maka diperlukan adanya unsur-unsur
tertentu, yakni : (1) apa yang diberikan oleh satu pihak merupakan sesuatu yang
berharga di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang maupun jasa
(pekerjaan), dan bisa dalam berbagai macam ragam bentuk pemberian, dan (2)
adanya hubungan timbal-balik, dimana pihak yang menerima bantuan merasa
mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut.
Berangkat dari fenomena horisontalisme relasi
antar aktor sawi dalam komunitas
nelayan, dimana teori jaringan didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor
itu bersifat saling tergantung satu sama lain (interdependence). Dalam
makna yang lebih operasional, dapat dipahami bahwa para aktor tidak akan mampu
mencapai tujuan‐tujuannya tanpa
menggunakan sumberdaya yang dimiliki oleh aktor lain.
Bagi Rhodes dan Marsh, (1992), memandang bahwa
mekanisme saling ketergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran (exchange)
sumberdaya antar actor. Selanjutnya, interaksi dan mekanisme
pertukaran sumberdaya dalam jaringan itu akan terjadi secara berulang‐ulang dan terus‐menerus dalam jangka waktu yang lama dalam
kehidupan sehari-hari (Rhodes dan Marsh, 1992; Klijn dan Koppenjan, 2000).
Perulangan dan kontinuitas proses‐proses itu kemudian secara bertahap akan
memunculkan suatu norma yang mengatur perilaku mereka dalam jaringan, dari yang
paling rendah tingkat mengikatnya sampai pada yang lebih kuat.
Menurut Scott (1972a: 92), dalam menjelaskan tentang ciri ikatan patron-klien, bahwa:
(1) Terdapatnya ketidaksamaan dalam
pertukaran (inequality of exchange) yang menggambarkan perbedaan dalam
kekuasaan, kekayaan, dan kedudukan. Klien adalah seseorang yang masuk dalam
hubungan pertukaran tidak seimbang, dimana ia tidak mampu membalas sepenuhnya
pemberian patron, sehingga hutang kewajiban mengikatnya dan bergantung kepada
patron;
(2) Adanya sifat tatap muka (face
to face character). Walaupun hubungan ini bersifat instrumental dimana ke
dua pihak memperhitungkan untung rugi, namun unsur rasa tetap berpengaruh
karena adanya kedekatan hubungan;
(3) Ikatan ini bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility).
Sifat meluas terlihat pada tidak terbatasnya hubungan pada hubungan kerja saja,
melainkan juga hubungan pertetanggaan, kedekatan secara turun temurun atau
persahabatan dimasa lalu, selain itu juga terlihat pada jenis pertukaran yang
tidak melulu uang atau barang tetapi juga bantuan tenaga dan dukungan kekuatan.
Selanjutnya, Scott mengatakan bahwa hubungan patron-klien
tumbuh dan berkembang dengan subur karena ; (1) adanya perbedaan yang menyolok
dalam penguasaan kekayaan, status yang diakui oleh masyarakat yang
bersangkutan, (2) tidak adanya jaminan keselamatan fisik, status, posisi atau
kekayaan, (3) kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana
pelindung bagi keamanan dan kesejahteraan pribadi.
Pemikiran Scott yang telah diuraikan di atas, menunjukkan
bahwa ikatan patron-klien didasarkan pada
pertukaran tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, dimana patron adalah pihak
yang memiliki modal, kekuasaan, status yang diakui dan memperoleh pembagian
yang lebih besar, sedang klienadalah
pihak yang memiliki posisi yang lemah, tidak ada securitas sosial, dan masuk
pada pertukaran yang tidak seimbang atau memperoleh pembagian yang sangat
kecil.
Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Scott (1972), sangat
relevan dengan pandangan Chambers ( 1983), tentang perangkap kemiskinan atau
jebakan kekurangan (deprivation trap).
4.
TEORI PERANGKAP KEMISKINAN (CHAMBERS)
Menurut Chamber (1983) bahwa kemiskinan
sebagai “suatu keadaan melarat dan ketidakberuntungan, suatu keadaan minus
(deprivation)”, bila dimasukkan dalam konteks tertentu (India), hal itu
berkaitan dengan “minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi,
kerapuhan dan ketidakberdayaan”.
Selanjutnya, Chambers (1983: 145-148), menyimpulkan bahwa
perangkap kemiskinan atau jebakan kekurangan (deprivation trap) yang terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit
keluarga miskin, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3)
keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Ke lima
ketidakberuntungan ini saling terkait satu sama lain, sehingga merupakan
jebakan kekurangan (deprivation trap).
Kemudian, dari lima ketidakberuntungan yang
disebutkan di atas, bagi Chambers ada dua hal yang memerlukan perhatian serius,
yaitu (1) kerentanan dan (2) ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis
ketidakberuntungan ini sering menjadi sebab orang miskin menjadi lebih miskin.
Dengan demikian, bila kita hubungkan apa yang didefenisikan
oleh Chambers (1983) tentang “perangkap kemiskinan” dengan teori “patron-klien”
oleh Scott dan teori “Fungsional Imperatif” oleh Parsons, serta teori
“Strukturasi oleh Giddens, dan kemudian kita bawa pada permasalahan yang selama
ini dialami oleh umumnya keluarga nelayan sawi (klien) dalam komunitas
nelayan, maka diduga ada kemungkinan bahwa kesulitan bagi nelayan sawi untuk
keluar dari perangkap kemiskinan (Chambers, 1983), merupakan penjelmaan dari
kekuatan tiga gugus struktur (Giddens, 1984) yang telah mengkonstruksi tindakan
nelayan dalam praktik-praktik sosial pada relasi patron-klien (Scott, 1972).
Kemudian semua ini tentu saja berlangsung dalam proses adaptasi
socio-psiko-biologik (Parsons, 1990) yang sangat panjang dan cenderung
mengutamakan keseimbangan sistem melalui pemeliharaan interdependensi dan
pengawasan kerjasama yang sangat ketat. Sehingga dalam keadaan demikian, maka
dapat diasumsikan bahwa eksistensi struktur sosial ponggawa-sawi mampu
mempertahankan kekuatan kelembagaannya, sebagai akibat dari proses social
budaya yang diuraikan di atas.
5. Ekologi Sosial Masyarakat Bahari Dan Modernisasi Perikanan
Arah pembahasan studi ini diharapkan juga dapat memberi
gambaran tentang karakteristik budaya masyarakat nelayan dalam hubungannya
dengan ekologi pantai. Selain itu, juga akan memuat penjelasan tentang
bagaimana struktur cara berpikir nelayan dalam memaknai lingkungan laut setelah
adanya modernisasi perikanan dan kelautan.
Menurut Soemarwoto (1987:15), bahwa permasalahan utama
lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan
lingkungan hidupnya. Karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya
adalah permasalahan ekologi. Selanjutnya, dikatakan bahwa ekologi dan ekonomi
mempunyai banyak persamaan, hanya saja dalam ekologi mata uang yang dipakai
dalam transaksi bukan uang rupiah atau dollar, melainkan materi, energi, dan
informasi.
Arus materi, energi, dan informasi dalam suatu habitat atau
antara beberapa komunitas merupakan perhatian utama dalam ekologi, yang
menyerupai atau seperti halnya arus uang dalam ekonomi. Karena itu, ekologi
dapat juga dikatakan ekonomi alam yang melakukan transaksi dalam bentuk materi,
energi, dan informasi.
Adaptasi ekologi sosial masyarakat nelayan dalam memanfaatkan lingkungannya, khususnya biofisik lingkungan laut, selalu membutuhkan adanya nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan, teknologi,
kepercayaan, dan simbolisasi. Proses adaptasi ini berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dalam sistem sosial masyarakat maritim dan telah mewujudkan kebudayaan yang diistilahkan dengan kebudayaan
bahari. Sistem budaya bahari yang selama ini beroperasi mengatur
sistem sosial kenelayanan, didasarkan pada sistem nilai-nilai dan norma-norma
kenelayanan. Sistem nilai dan norma pengetahuan tradisional masyarakat nelayan
seringkali dihubungkan dengan lingkungan alam metafisik. Karena itu,
keteraturan dalam system ekologi masyarakat maritim dapat terwujud sebagai
akibat dari adanya keeratan hubungan antara lingkungan social dan budaya
masyarakat nelayan dengan ekosistem bahari.
Menurut Tobing (1959) dalam
Sallatang (1987: 4), bahwa cara berpikir yang ada di dunia sederhana ialah apa
yang disebutnya “The Totalitarian Way of
Thinking” (cara berpikir
totalitas), sedang yang dianut di dunia modern ialah apa yang disebutnya “The Obyectivating Way of
Thinking” (cara berpikir obyektif).
Menurutnya, ke dua cara berpikir ini berbeda dan bahkan bertentangan satu sama
lain.
Jauh sebelumnya, adaptasi komunitas nelayan dengan ekosistem
laut cenderung berlangsung secara persuasif, dalam arti bahwa komunitas nelayan
memandang bio-fisik lingkungan kelautan sebagai bahagian dari sistem
kehidupannya. Lingkungan
laut bersama dengan segala isinya mereka maknai sebagai sesuatu yang memiliki
kekuatan ghaib dan penuh dengan misteri. Karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan kelautan di masa lalu, amat mengutamakan kesesuaian, keserasian,
dan harmonisasi dengan alam kelautan, sehingga antara ekosistem terumbu karang,
padang lamun, dan mangrove (bakau) relatif tetap terjaga keseimbangannya.
Demikian juga, hal-hal yang bersifat metafisik
yang terkandung dalam sistem kepercayaan nelayan, banyak terwujud dalam sistem
pengetahuannya yang berkaitan dengan mitologi, ritualisasi, kultural, dan magik
(perilaku ritual dan magis), terutama yang berkenaan dengan sistem ekologi
sosial kenelayanan. Bahkan, dalam keadaan dimana nelayan
menghadapi rintangan yang berat situasi yang gawat, seperti ketika ombak dan
badai besar datang menghantam perahunya, maka tindakan manipulasi metafisik sering dilakukan untuk menjinakkan alam
kelautan (Lihat: Arifin, 1991).
Umumnya kelompok-kelompok nelayan masih
menggunakan simbolisasi alam dan simbolisasi perilaku sebagai alat
komunikasinya dengan alam kelautan dalam rangka melakukan pelayaran dan penangkapan
ikan di laut.. Selain itu, ke dua symbol tersebut cenderung masih dipergunakan
untuk memperkirakan kapan adanya kemungkinan perubahan antara musim barat ke
musim timur atau sebaliknya; kapan waktu-waktu yang baik untuk melakukan penangkapan ikan;
dimana letak lokasi-lokasi “Taka” (gugusan karang) dengan mengamati gerakan
ombak; kapan waktu-waktu yang baik untuk melakukan penangkapan jenis hasil laut
tertentu, misalnya cumi-cumi.
Meskipun demikian, namun ketika modernisasi
perikanan (innovasi kapitalis) mulai berlangsung di dalam masyarakat maritim
sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka “cara
berpikir totalitas” (“The Totalitarian Way of
Thinking”) seperti yang dikemukakan oleh Tobing (1959)
dalam Sallatang, (1987:4), telah turut mengalami perubahan.
Demikian juga sebaliknya, meskipun modernisasi
perikanan telah memberi pengaruh terhadap aktivitas pemujaan-pemujaan yang
dahulu seringkali dilakukan dipinggir pantai, namun tidak berarti bahwa
nilai-nilai dasar atau keyakinan dasar dari kepercayaan nelayan terhadap
kekuatan ghaib di lingkungan laut telah berubah sama sekali. Sistem pengetahuan
penangkapan (“Erang
Pa’boya-boyang”) dan
pengetahuan pelayaran (“Erang
Passimombalang”), cenderung
masih merupakan suatu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang ponggawa
perahu. Pengetahuan (“Erang”) masih diyakini dapat digunakan dalam memaknai
simbol-simbol dan menjinakkan keganasan lingkungan alam kelautan. Karena itu,
Adat di bidang perikanan dan kelautan, masih sering kita jumpai dalam komunitas
nelayan.
Menurut Giddens (2005), bahwa kita seharusnya
melihat kapitalisme dan industrialisme sebagai dua “pengelompokan
organisasional” atau dimensi berbeda yang terdapat dalam institusi- institusi
modernitas. Selanjutnya, dikatakan bahwa kapitalisme adalah sistem produksi komoditas, yang terpusat pada relasi
antara kepemilikan modal pribadi dan pekerja upahan yang tidak menguasai hak
milik, relasi ini membentuk poros utama sistem kelas. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa perusahaan kapitalis bergantung kepada produksi yang ditujukan kepada
pasar kompetitif, harga yang menjadi tanda bagi para investor, produsen dan
konsumen. Sedang, karakteristik utama industrialisme adalah pemakaian sumber-sumber kekuasaan
material yang tidak berjiwa dalam produksi barang yang dipadukan dengan peran
sentral mesin dalam proses produksi. “Mesin” dapat didefenesikan sebagai
artefak yang menyelesaikan pelbagai tugas dengan menggunakan sumber-sumber
kekuasaan sebagai sarana operasinya.
Konsep-konsep utama yang juga dapat dijadikan sebagai dasar analisis proses
modernisasi dibidang perikanan dan
kelautan yaitu diferensiasi sosial, rasionalisasi
tindakan, pengetahuan simbolik, dan relasi patron-klien. Keterkaitan
konsep-konsep utama yang disebutkan memiliki makna yang saling terkait satu
sama lain. Hubungan diferensiasi sosial dan rasionalitas tindakan harus dapat
dilihat melalui sejauhmana pola patron-klien berperan atau mengalami
pergeseran.Rasionalisasi tindakan juga dapat dilihat pada
tataran pengaruh simbolik melalui proses mitologi, proses ritualisasi, dan mistik yang masih mengakar dalam sebuah
komunitas (lihat: Salman, 2006). Selanjutnya (Salman, 2006), bahwa diferensiasi
sosial berlangsung pada tingkat struktur, sedang rasionalisasi tindakan
berlangsung pada tingkat actor atau individu. Diferensiasi sosial yang terjadi
pada tingkat struktur, telah menuntut adanya lembaga-lembaga khusus yang dapat mengayomi fungsi-fungsi baru
dalam sistem sosial yang bersangkutan.. Selanjutnya, dikatakan bahwa ketika differensiasi sosial tidak
berproses, maka masyarakat itu akan bertahan pada community (gemainschaft), dan
ketika differensiasi bertransformasi melewati batas-batas differensiasi sosial,
maka akan terjadi proses society. Ini berarti bahwa differensiasi sosial
berlangsung pada tingkat struktur.
Diferensiasi sosial biasanya erat hubungannya
dengan proses semakin meningkatnya kebutuhan akan peranan yang harus dimainkan
sesuai dengan pertambahan pembagian kerja berdasarkan tugas-tugas dan
fungsi-fungsi baru yang bersifat spesifik. Selain itu, diferensiasi sosial juga
telah mengintegrasikan masyarakat local kedalam masyarakat yang skalanya lebih
besar (perbesaran skala), sehingga jaring hubungan sosial juga terasa semakin
merenggang. Perbesaran skala dimaksudkan bahwa pada mulanya kondisi hubungan
sosial kekerabatan yang terjadi pada suatu komunitas sangat erat satu sama lain, menjadi merenggang
sebagai akibat semakin bertambahnya jumlah relasi atau intensitasnya yang ada
dalam kesatuan sosial (lihat: Soekanto, 1986,
Parsons, 1990, Sztompka, 2008).
Diferensiasi structural dalam bentuk
organisasi-organisasi baru diberbagai bidang dengan fungsinya masing-masing,
telah mengambil alih fungsi dari kelompok-kelompok kekerabatan dan atau
lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat. Aspek yang paling spektakuler pada proses
diferensiasi sosial dalam suatu masyarakat ialah pergantian teknik-teknik
produksi dan pemasaran dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern, dimana
hal tersebut telah melahirkan struktur dan spesialisasi fungsi-fungsi baru
didalam kehidupan sosial masyarakat yang tertampung dalam pengertian revolusi industri. Realitas dari proses revolusi industri itu
hanya satu bagian atau satu aspek saja dari suatu proses yang jauh lebih luas.
Dikatakan demikian, karena modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses
transformasi dan atau suatu proses perubahan masyarakat dari berbagai aspek (lihat: Parsons, 1990.
Soekanto, 1986. Giddens, 2005. Salman, 2006).
Karena itu, Salman (2006), mengatakan bahwa diferensiasi sosial diartikan sebagai suatu proses dimana
fungsi-fungsi didalam sebuah entitas social (apa saja yang mempunyai eksistensi
social) mengalami pertambahan dan perkembangan sedemikian rupa sehingga diikuti
oleh lahirnya kelembagaan atau sub sistem khusus dalam rangka memenuhi atau
menangani fungsi-fungsi baru tersebut. Selanjutnya, dikatakan
bahwa beberapa aspek dalam
memahami fenomena diferensiasi sosial yaitu, a) ada tuntutan fungsi baru dalam
masyarakat tetapi tidak lahir lembaga baru, b) ada lembaga baru muncul/eksist
tetapi fungsinya semakin lama semakin menurun atau sama sekali tidak manifest,
c) fungsi eksist dan lembaga eksist, dan d) lembaga tersebut eksist akan tetapi
fungsinya salah atau tidak sesuai tujuan dari keberadaan lembaga itu
(disfungsi). Dengan demikian kalau sebuah komunitas tidak mengalami perbanyakan
fungsi atau ada fungsi baru tetapi lembaga yang menjalankan fungsi itu tidak
muncul atau semakin menurun atau lembaga berfungsi tetapi disfungsi, maka
komunitas akan mengalami perlambatan fungsinya menjadi ciri society (gesselschaft).
III. METODE DAN PROSEDUR KERJA PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Keterkaitan Disiplin Ilmu Dalam Penelitian
Disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan
penelitian ini adalah Sosiologi, terutama yang berkenaan dengan praktik-praktik
sosial yang berulang dalam lintasan ruang dan waktu. Demikian juga, mengenai
perspektif yang digunakan untuk melihat perkembangan komunitas nelayan di Desa
Tamalate, lebih
bersifat diakronik.
Menurut Giddens (dalam Priyono, 2002), bahwa obyek utama dalam kajian ilmu-ilmu
sosial bukanlah “peran sosial” (social role) seperti dalam
fungsionalisme Parsons, bukanlah “kode tersembunyi” (hidden code)
seperti yang diuraikan dalam strukturalisme Levis-Strauss, bukan juga “keunikan
situasional” seperti yang dijelaskan dalam interaksionisme simbolik Goffman.
Bukan keseluruhan, bukan bagian; bukan struktur, bukan pelaku perorangan,
melainkan titik temu antara keduanya, yakni “praktik sosial yang berulang serta
terpola dalam lintas waktu dan ruang”.
Karena pusat perhatian utama dalam penelitian
ini mengarah pada praktik-praktik sosial yang berulang yang terkonstruksi
melalui proses signifikasi, dominasi, dan legitimasi pada relasi patron-klien dalam komunitas nelayan, maka penelitian ini sangat erat kaitannya
dengan kajian ilmu-ilmu sosial, khususnya bidang sosiologi.
2. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian adalah suatu
pendekatan atau strategi yang dilakukan oleh seorang peneliti, sebelum ia
melakukan penelitian lapangan. Seorang peneliti sebelum mengkonstruksi
penelitian yang akan dilakukan, maka sangat penting untuk menentukan paradigma
penelitiannya. Hal ini dianggap penting, karena paradigma akan membentuk
metodologi. Faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih paradigma
adalah sifat masalah dan kesesuaian asumsi. Karena itu, paradigma yang cocok digunakan pada
penelitian ini adalah paradigma naturalistik dengan metode fenomenologi.
Menurut Skinner (dalam Ritzer, 2009 : 70),
bahwa untuk tidak menjadikan sosiologi sebagai objek studi yang bersifat
mistik, dan menjauhkannya dari objek studi berupa barang sesuatu yang
konkrit-realistis, maka paradigma naturalistik adalah yang tepat untuk digunakan. Selanjutnya
dikatakan bahwa objek
studi sosiologi yang konkrit-realistis itu adalah perilaku manusia yang tampak
serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of
reinforcement).
3. Metode Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata phenomenon
(bahasa Inggris) artinya yang tampil terlihat jelas dihadapan kita. Suatu
phenomenon dapat tampil dalam pikiran kita, sejauh dia jelas bagi kita. Selain
merupakan pemikiran filsafat, fenomenologi juga merupakan suatu metode dalam
alur berpikir manusia (Siregar,2005).
Fenomenologi diartikan sebagai ; (1)
pengalaman subjektif atau fenomenologikal, dan (2) suatu studi tentang
kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Husserl,1970).
Peneliti dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang
berada dalam situasi tertentu. Filsafat fenomenologi merupakan suatu pemikiran
filosofis yang dipakai terutama berhubungan dengan usaha mencari penyelesaian
hubungan lahiriah, alamiah dengan ciptaan alam di dalam dunia kehidupan.
Manusia diharapkan selalu mengingat sisi batin/kejiwaannya ketika ia bermaksud
mengembangkan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan ummat manusia secara utuh
meliputi jiwa dan raganya, lahir dan bathin, atau fisik dan nonfisik.
Dalam pandangan fenomenologi, manusia tidak hanya hidup dalam
dunia relasi biologis dan cultural, tetapi juga dalam dunia relasi sosial,
yakni suatu realitas yang memiliki kualitasnya tersendiri dan berbeda dengan
realitas budaya dan biologis. Kualitas-kualitas yang membedakan realitas sosial
adalah wilayah–wilayah mental, yang dihasilkan dari proses kehidupan bersama.
Dalam suatu penelitian ilmiah peneliti tidak
secara langsung berhadapan dengan data yang secara langsung menyajikan makna
yang dapat ditangkap oleh peneliti. Peneliti berupaya untuk menangkap makna pada objek penelitian melalui gejala-gejala
yang ditangkap oleh peneliti. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti
mengetahui sesuatu bagi orang-orang atau objek yang sedang diteliti. Tujuan subjek peneliti, yaitu melihat dari segi makna
yang dikandung oleh objek atau dari segi pandangan nilai yang ada pada objek
adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengungkap nilai yang terkandung
dalam objek penelitian.
Menurut Gunawan Tjahjono (1999), Metode fenomenologi adalah suatu prosedur
kognitif yang khusus, berdasarkan intuisi dalam pengamatan intelektual terhadap
objek. Intuisi ini mengacu pada yang diberikan. Aturan utama fenomenologi
adalah “kembali kepada benda itu sendiri”. Dalam hal ini, benda itu berarti
yang diberikan (atau yang dihadapi). Untuk itu perlu dilaksanakan tiga reduksi.:
Pertama, reduksi dari seluruh subyektivitas, karena
apa yang diperlukan disini adalah pendapat obyektif. Ini berarti seseorang
mengamati apa adanya yang dihadapinya dan kosentrasikan ke hal itu saja dengan
menghilangkan segala prasangka (jika ada) yang telah merasuki benak kita.
Kedua, reduksi dari seluruh pengetahuan yang ada
seperti teori, hipotesis, bukti yang diperoleh dari sumber lain. Sehingga data
atau informasi yang didapatkan pada saat itu merupakan satu-satunya acuan
Ketiga, reduksi dari seluruh tradisi yang ada,
seperti yang pernah diartikan orang lain tentang obyek tersebut. Kita harus
memiki keyakinan bahwa apapun yang kita dapatkan sekarang itu adalah relitasnya .
Lebih lanjut, Gunawan Tjahjono (1999), mengatakan bahwa kekuatan fenomenologi terletak
pada menghapuskan praduga kita dalam memahami suatu masalah dan pada detail
pengamatan. Keharusan bersikap tiada hal yang sederhana, hingga suatu gambaran
baru muncul. Dengan cara itu kita dapat menemukan hal-hal yang tersembunyi dan
mengungkapkannya. Dari situlah akan terbentuk konsepsi baru tentang masalah
yang sedang diselidiki.
B. PROSEDUR KERJA PENELITIAN
1. Setting Daerah Penelitian
Penelitian ini akan saya lakukan di Desa Tamalate, Kecamatan Galesong
Utara, Kabupaten Takalar. Desa ini saya pilih secara sengaja (purpossip),
karena mata pencaharian dan pekerjaan penduduknya mayoritas nelayan, baik
penduduk lokal maupun penduduk yang didatangkan dari Kabupaten Jeneponto dan
dari daerah pulau-pulau di luar kabupaten dan dalam wilayah
Kabupaten Takalar. Penetapan secara sengaja
pada lokasi penelitian di Desa Tamalate, didasarkan pada indikator yang
relevan, yakni daerah yang termasuk Desa pantai; Desa yang terbanyak
penduduknya sebagai nelayan; Desa yang ramai dikunjungi oleh nelayan dari desa
lain, sebagai tempat transaksi jual-beli hasil-hasil laut (ikan, kepiting,
udang, cumi-cumi, kerang-kerangan, teripang, dsb) yang dilakukan di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI); desa yang terbanyak memilik perahu, terutama yang
berukuran besar (“Perahu Lambo”) yang umumnya digunakan oleh Pa’rengge.
Untuk menjangkau lokasi penelitian ini, maka kita dapat menggunakan jalur yang
melalui GMTDC, yang arah jalannya menuju ke Barombong. Waktu yang dibutuhkan
selama perjalanan menuju lokasi penelitian, lebih-kurang 1 Jam. Selain jalur
itu, kita juga dapat menggunakan jalur lewat Sultan Alauddin menuju ke
perbatasan antara Kabupaten Gowa dan KabupatenTakalar. Selanjutnya, lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan
kendaraan roda dua atau roda empat. Oleh karena lokasi ini akan dijadikan kasus
dalam penelitian ini, maka di setting dengan sengaja, untuk melihat bagaimana kekuatan struktur
keponggawaan yang ada pada nelayan parengge di Desa Tamalate, dalam
mengkonstruksi tindakan para sawi.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif
diakronik (sejarah). Agar penelaahannya lebih mendalam, maka
digunakan Metode Studi Kasus. Kasus dalam penelitian ini adalah nelayan Pa’rengge yang ada di Desa
Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar.
3. Setting Informan
Nelayan subyek akan
dipilih secara purposip, yang terdiri dari ponggawa lompo (besar), ponggawa
ca’di (kecil),
dan nelayan sawi (buruh) pada dua lokasi penelitian ini.
Nelayan yang dijadikan informan adalah yang diketahui memiliki pengetahuan yang
luas dan dalam tentang kebutuhan akan keterangan-keterangan atau data-data bagi
peneliti. Penelitian ini juga
menggunakan “Pemuka Masyarakat”, “Pemangku Adat”, dan “Tokoh Agama” sebagai
informan, sepanjang dibutuhkan keterangan atau data dari mereka yang terkait
dengan objek penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang akan saya lakukan adalah dengan cara penelitian
pustaka (Library Research). Hal ini saya maksudkan bahwa data-data yang
bersifat teoritik perlu dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur
(buku-buku) yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Kemudian saya
akan lakukan observasi terhadap perilaku
terselubung (Covert Behavior) pada relasi patron-klien yang tak dapat
dijangkau melalui wawancara. Kemudian wawancarayang akan saya lakukan sifatnya mendalam (in-depth interviewing) dengan informan melalui wawancara tatap
muka (“face to face”). Sedang alat pengumpul data melalui wawancara
dengan informan, akan menggunakan pedoman wawancara dan buku catatan (note book), dan tape recorder.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data
dilakukan dengan cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan
menghubung-hubungkan antara makna dari berbagai keterangan yang relevan, dan
kemudian ditarik makna yang lebih lanjut atau lebih tinggi tingkatannya, sampai
pada rangkaian makna yang telah dianggap merupakan kesimpulan dari hasil
penelitian ini.
6. Teknik Keabsahan Data
Uji kredibilitas data
yang berkenaan dengan validitas dan realiabilitas, akan dilakukan melalui cara
peningkatan ketekunan terhadap objek yang diamati, diskusi dengan teman yang
paham dengan objek penelitian, dan triangulasi sumber, teknik, dan waktu.
Daftar Pustaka
Acheson, J.M. 1981. Anthropology of Fishing. Ann.Rev.Anthropol. 10: 275-316
Adhuri, Dedi S & Ary Wahyono (editor). 2004. Konflik-konflik kenelayanan: Distribusi, pola, akar masalah dan
resolusinya. LIPI, Jakarta
Agger, Ben, 2009. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan
Implikasinya, Kreasi
Wacana, Yogyakarta.
Agussalim, 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal baru
Untuk Indonesia, Nala Cipta Litera,
Makassar.
Ahimsa Putra, HS. 1991 Minawang : Ikatan Patron-Klien di Sulawei Selatan.
Yogyakarta: UGM Press.
Alfian, dkk, 1980. Kemiskinan Struktural, YIIS, Malang.
Amartya Sen, 2001, Masih
Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin (Terjemahan, On Ethics and Economics), Penerbit
Misan, Jakarta.
Andersen, Raoul (1972) Hunt and deceive: Information management
in Newfoundland deep-sea trawler fishing. In R. Andersen & C. Wadel, eds., North
Atlantic Fishermen, pp. 120-140. St. John’s: Memorial University
of Newfoundland.
Anto, J dan Benget Silitonga, 2004. Menolak Menjadi Miskin: Gerakan rakyat Melawan
Konspirasi Gurita Indorayon, Bakumsu, Medan.
Arraiyyah, Hamdar, 2007. Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah
Perspektif Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Arief
Pallampa, A. Adri, 2007. Artikulasi Modernisasi dan Dinamika formasi sosial
Pada Nelayan Kepulauan di Sul-Sel (Disertasi). Universitas Hasanuddin.
Arifin, Ansar, 1991, Proses Pelembagaan Undang-Undang Lingkungan
Hidup di Dalam Masyarakat Nelayan, (Thesis), Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bavinck, Maarten, 1984. Fish trade; Fishers; Government policy; History; Sri Lanka; Kadalur. VU Uitgeverij
(Amsterdam)
Barker, Chris. 2000, Cultural Studies, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Bulkin, Farchan., 1988. Kemiskinan Dalam Politik
Indonesia, Seri III, Transpormasi, Jakarta.
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang, LP3ES, Jakarta
Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research (Terj:Dariyantno dkk.), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Eaton, Joseph W, 1986. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional:
Dari Konsep ke Aplikasi, UI Press, Jakarta.
Efendi, Tadjuddin Noer.,
1993. Sumberdaya Manusia,
Peluang Kerja dan Kemiskinan, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Esmara, Henra., 1986. Perencanaan dan
Pembangunan di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Firth, Raymond W. 1975. "An Appraisal
of Modern Social Anthropology." Annual Review of Anthropology, 4: 1–25.
Giddens, Anthony, 2003. Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Pedati, Pasuruan.
_______, 2005.
Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Penerbit Kreasi Wacana.
_______, dan Jonathan Turner, 2008. Social Theory Today: Panduan Sistematis
Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_______, 2009. Problema Utama Dalam Teori Sosial: Aksi,
Struktur, dan Kontradiksi Dalam Analisis Sosial., Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_______, 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hamilton, Peter, 1990,
Talcott Parsons dan Pemikirannya, PT. Tiara Wacana, Yogya.
Haq, Mahbub Ul, 1983. Tirai Kemiskinan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Hanif, Hasrul, 2008. Mengembalikan Daulat Warga Pesisir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hikmat, Harry, 2010. Stretegi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora, Bandung.
Hobsbawn, D. J. Poverty, Dalam International
Encyclopedia Of The Social Sciences, Editor David L. Sill, Vol. XII, Macmillan
and Free Press, hal. 398.
Ismanto, IGN., 1994. Kemiskinan di Indonesia dan Program IDT.
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia. CSIS, Jakarta.
Johson, Doyle, 1994, Teori Klasik dan Modern, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Kerlingger, Fred N, 2005. Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Klijn Eric-Hans and Joop Koppenjan, 2000). ‘Public Management And Policy Network
Foundation Of a Network Approach to Governance’, Public Management, Vol. 2 Issue 2, 2000.
Kusnadi, 2003. Akar Kemiskinan Nelayan, LKIS, Yogyakarta.
______, 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan, Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan, Bantul.
Lampe, Munsi, D. Salman, dan A. Arifin. 1996.
Laporan Studi Analisis Sosial Untuk Program Perencanaan dan Rehabilitasi dan
Pengelolaan Terumbu Karang di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: LIPI-Unhas.
Lewis, Oscar, 1988. Kisah Lima Keluarga : Telaah-telaah Kasus Orang Meksico Dalam
Kebudayaan Kemiskinan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Lewis,
John.P dan Valeriana Kallab, 1987, Mengkaji Ulang
Strategi-strategi Pembangunan (terj. oleh Pandan Guritno
dari buku: Development Strategies Reconsidered, (Overseas Development
Council and Transaction Books, New Brunswick USA and Oxford UK), UI Press, Jakarta.
Mikkelsen, Britha,
2001. Metode
Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku Pegangan
bagi Praktisi Lapangan, Penterjemah : Mathios Nalle, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Mubyarto, dkk, 1984. Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi
Antropologi di Dua desa Pantai, Rajawali, Jakarta.
Nawawi, Ismail, 2009. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian
Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi. Putra Media Nusantra, Surabaya.
Parsons,
Talcott, 1990. Talcott Parsons Dan Pemikirannya (penerjemah), Hartono Hadikusumo. Pt. Tiara Wacana
Jogya.
Pelras, Christian.
1981. Hubungan Patron-Klien Dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Ujung Pandang
(Monografi).
Poloma, Margaret M, 1979. Sosiologi kontemporer (Penerjemah). Raja Grafindo. Jakarta.
Priyono, B. Herry,
2003. Anthony
Giddens: Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer Gramedia, Yogyakarta.
Rahardjo, M. Dawam,
1990, Transformasi Pertanian, Industrilisasi dan
Kesempatan Kerja,
UI Jakarta.
Remi, Sutyastie
Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto, 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Rhodes, R. A. W. and
David Marsh, (1992), ‘New
Direction In The Study Of Polyce Networks’, European Journal Of Political
Research, 21.
Roxborough, Ian, 1978. Teori-teori Keterbelakangan, LP3ES, Jakarta.
Rubinow, I. M.
Poverty, Dalam Encyclopedia Of The Social Sciences,
Vol. XI – XII.
Rustiadi, E dan Pranoto. (2007). Agropolitan
Membangun. Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press, Bogor.
Sajogyo
dan Pudjiwati Sajogyo, 1992, Sosiologi Pedesaan (kumpulan bacaan), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Sajogyo, Pudjiwati,
1985, Sosiologi
Pembangunan .
Pascasarjana IKIP dan BKKBN Jakarta
Salman, Darmawan, 2006. Jagat Maritim: Dialektika Modernitas dan
Artikulasi Kapitalisme pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan,Ininnawa, Makassar.
Sallatang, M. Arifin, 1982. Pinggawa Sawi, Suatu
Studi Sosiologi Kelompok Kecil, (Disertasi) Universitas
Hasanuddin
-------------, 1986, Kemiskinan dan Mobilisasi
Pembangunan, Penerbit Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS),
Ujung Pandang.
_______, 1987,
Perubahan Perilaku Dan Cara Berpikir (Pidato Pengukuhan) Penerbit : Lembaga
Penelitian Universitas Hasanuddin.
-------------, 2000, Pembangunan, Partisipasi dan
Kelembagaan Sosial di Sulawesi Selatan, Universitas Hasanuddin.
Schoorl, J.W, 1984, Modernisasi . PT. Gramedia Jakarta.
Scott,
James C. 1981, Moral Ekonomi Petani:
pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta.
-------------, 1985. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan
Sehari-hari Kaum Tani.
penerjemah, A. Rahman Zainuddin (2000), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Shari, Ishak, and Chang Yii Tan, 1993. Technology and social change : the impact of
technological development on fishing communities in east coast of Peninsula
Malaysia, Penerbit Universiti
Kebangsaan, Bangi, Malaysia
Siregar G. Laksmi, (2006), Menyingkap Subjektivitas Fenomena, UI. Press , Jakarta.
Siswanto, Budi. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Laksbang Mediatama, Malang.
Smith, Adam, An Inquiry Into
The Nature And Cause Ot The Wealth of nations.; New York, Modern Library, 1776
Soedjito, 1986, Transformasi sosial menuju
masyarakat Industri, CV. Bayu Grafika.
Soekanto, Soerjono, 1986
Talcott Parsons, Fungsionalisme Imperatif. CV. Rajawali, Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 1987, Ekologi Lingkungan
Hidup Dan Pembangunan, Penerbit Djambatan. Jakarta.
Soetomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D, Alfabeta, Bandung.
Suyanto, Bagong dan Karnaji, 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika
Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat, Airlangga University Press, Surabaya.
Svalastoga, Kaare, 1989. Diferensiasi Sosial, Bina Aksara, Jakarta.
Swasono, Sri Edi, dkk, 1999. Sekitar Kemiskinan dan Keadilan, Dari
Cendekiawan Kita Tentang Islam, UI Press, Jakarta
Syamsuddin, A.Maimun: Teologi Kemiskinan:
Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan / Yusuf Qaradhawi
Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie, 2010. Mixed Methodes: In Social and Behavioral
Research, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Tjahjono,Gunawan,(1999),”Metode
Perancangan,Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang’UI, Jakarta.
Todaro, Michael P. 1986. Perencanaan Pembangunan : Model dan Metode, Intermedia, Jakarta.
Todaro, P, Michael, 1995, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga,
Erlangga, Jakarta.
Turner, H, Jonathan,
1990, The Structure Of
Sosiological Theory, Wadworth Publishing Company, California.
Ushijima, Iwao and, Cynthia Neri Zayas, eds.
Fishers of the Visayas: Visayas Maritime Anthropological Studies, Cleveland,
OH, U.S.A
`Wahyono, Ary, dkk, 2001. Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan, Media Pressindo,
Yogyakarta.
Wie, Thee Kian, 1981. Pemerataan Kemiskinan
Ketimpangan: Beberapa Pemikiran tentang Pertumbuhan Ekonomi. Sinar Harapan. Jakarta.
Yustika, Erani Ahmad,
2003. Negara Vs. Kaum Miskin, Pustaka pelajar,
Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar