PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA
Indonesia dianugrahi
sebagai Negara Kepulauan (achipelagic
state) terbesar di dunia. Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa
Bahari yang ditunjukkan oleh berbagai peradapan Kerajaan Nusantara dalm
berinteraksi dengan komunitas dunia sehingga Indonesia sebetulnya juga adalah
Negara Maritim (coastal state).
Namun, karena para penjajah yang melihat kekayaan Nusantar baik laut maupun
darat yang sangat berlimpah berusaha keras untuk menguasai dan menghancurkan
Karakteristik bangsa Bahari seperti tegas, terbuka, kosmopolit, dan menmbus
kedangkalan serta kekerdilan berfikir (outward
looking). Setelah era Kemerdekaan, ternyata, tradisi sebagai bangsa yang
pernah dijajah sedemikian lama oleh berbagainegara belum juga berubah dikatakan
belum berubah karena kebijakan pembangunan Indonesia terlalu berorientasi dan
lebih bertumpu pada daratan (continental
orientation), padahal harus disadari bahwa luasnya dan potensi besar
ekonomi laut Nusantara secara geografis dan geopolitis sangatlah strategis.
Karena itu, sudah seharusnya potensi darat dan laut yang sangat besar itu
disatukan menjadi kekuatan dalam membangun bangsa demi Kesejahteraan masyarakat
Nusantara.
Ketidakseimbangan
dalam kebijakan pembangunan tersebut akhirna mengakibatkan bidang kelautan ini
belum bisa berbuat banyak untuk membangun perekonomian bangsa ketidakberdayaan
yang sangat ironis padahal bangsa-bangsa besar lainnya di dunia selalu dimulai
dengan besarnya kekuatatn maritim. Lebih dari itu, marginalisasi kelautan telah
menciptakan kompleksitas permasalahan bangsa yang sangat takut, dari mulai
keterpurukan ekonomi (illegal fishing),
kerawanan politik (penyelundupan) hingga terancamnya keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Keterpurukan dan
ketertinggalan pembangunan di pesisirdan lautan hingga kini tidak bisa
dilepaskan dari strategi kaum kolonisalis dalam menghancurkan peradapan
tertinggi masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari seperti yang telah diungkap diatas. Sebelumnya
terciptanya kerdilisasi jiwa masyarakat Nusantar oleh “kaum kolonialis”, warga
Nusantara telah berkemampuan untuk berlayar sampai ke Ghana, Afrika Selatan.
Perjalanan perdagangan rempah-rempah yang dikenal dengan nama “rute kayu manis”
(the cinnamon route) yang kemudian
telah dibuktikan oleh ekspedisi Kapal Borobudur dari 15 Agustus 2003-23
Februari 2004. Ekspedisi yang dinahkodai oleh kapten (laut) I Gusti Putu Ngurah
sedana ini untuk menengaskan kembali bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah
sejarah bangsa yang menguasai kelautan dan mendapatkan manfaat dari go international pada zamanya.
Berkaca pada cermin
yang sangat jernih itu, yaitu sejarah kebaharian bangsa, kebijakan pembangunan
Indonesia ke depan seharusnya mengedepankan kebijakan pembangunan yang
berorientasi pada pesisir dan laut (maritime
orientational) untuk kemudian dipadukan dengan pembangunan di darat. Karena pembangunan dan kelautan
bersifat multisektoral dan lintas departemen, serta lingkagenya yang sangat erat aantara laut dan adarat, diperlukan
kerja sama antarinstitusi negara yang dipayungi oleh kebijakan nasional, yaitu,
ocean policy, sehingga egisme dan
friksi antarsektor yang kerap muncul pada masa lalu dapat dieliminir. Lembaga-lembaga
negara yang terkait dalam pembangunan kelautan, yakni eksekutif, legislatif,
hingga yudikatif, antara lain, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pertahanan,
Kepolisian Republik Indonesia, Perhubungan, Energi dan Sumberdaya Mineral,
Pariwisata, Peristrian, Perdagangan, Keuangan, Lingkungan Hidup serta, TNI AL
maupun DPR dan DPRD.
Harapan pembangunan
kelautan dan perikanan menjadi prime
mover bagi perekonomian nasional, sebagaimana yang terjadi di negara-negara
maaritim lainnya, semoga dapat diwujudkan. Bagaimanapun, terwujunya harapan ini
akan mampu mengangkat Harkat-Martabat bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk
akibat gerusan krisis moneter hingga krisis moral. Di tengah meningkatnya
pembangunan nasional, kehadiran buku yang ditulis oleh ke empat aktivis dan
peneliti muda ini memiliki nilai penting yang sangat strategis dalam memahami
kompleksitas permasalahan kelautan dah perikanan. Dalam buku ini para penulis
menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan kelautan sekarang ini dihadapkan pada
rendahnya pemahaman para pemimpin bangsa tentang budaya masyarakat Bahari,
sangat rendahnya SDM Kelautan Indonesia, ketidakjelasan arah kebijakan
pembangunan Kedaulatan Nasional yang disajikan dalam bahasa yang kritis khas
orang muda.
Para penulis juga
membahas tentang berbagai tentang berbaagai permasalahan otonomi daerah dan
desentralisasi di wilayah laut, dari pemberdayaan “keterlibatab” masyarakat
lokal hingga keberlanjutan sumber daya (sustainability
development). Topik yang berkenaan dengan kebijakan perikanan tangkap yang
menyimpan setumpuk permasalahan tidak luput dari kritikan cerdas para penulis,
khususnya tentang kentalnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Permasalaham
klasik lainnya tak kunjung berakhir adalah kemiskinan nelayan dan program
pemberdayaan yang tidak tepat sasaran.
Terkait dengan itu, tulisan tersebut diharapkan dapat ditafsirkan sebagai
kepedulian kaum muda kepada masa depan bangsa sehingga dicari penyelesaian yang
sebaik-baiknya.
Masyarakat Bahari,
khususnya nelayan Indonesia, hingga kini masih terjebak dalam lingkaran
kemiskinan (viscious circle). Panjang pantai 81.000 km dan luasnya laut beserta
kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan. Kemiskinan yang melilit masyarakat
nelayan hingga saat ini diibaratkan dengan tikus yang mati di lubang padi.
Mengapa mereka miskin, padahal mereka hidup di tengah-tengah kekayaan
sumberdaya laut yang sangat potensial? Mubaryo (1984) menemukan data fakta
bahwa kemiskinan yang terjadi di masyarakat nelayan, khususnya yang berdomisili
di daerah pesisir pantai (desa-desa pantai) lebih miskin jika dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor community).
Saya sambut baik
penerbitan buku yang disajikan oleh para penulis muda ini dalam rangka
menunjukan konsistensinya dalam berpikir dan upaya pengembangan wacana tentang
pembangunan kelautan dan perikanan pada masa depan. Terlebih lagi buku ini
disusun oleh kaum muda yang kental dengan idealisme berpikir untuk kemajuan
bangsa. Kami berharap buku selain memberi tambahan pustaka bagi para akademis,
peneliti, mahasiswa, pembuat kebijakan dan masyarakat luas, juga mampu menjadi
wacana yang sangat terbuka untuk didiskusikan sebagai solusi terhadap masalah
yang dihadapi dalam membangun bangsa. Semoga buku ini dapat memicu pemikiran
kritis para pembaca sehingga mainstream pembangunan
kelautan bagi kejayaan bangsa Indonesia di laut demi kesejahteraan rakyat di
penjuru Nusantara dapat di tumbuh-kembangkan kembali.
MEMBANGUN
PARADIGMA NEGARA MARITIM
Akibat hantaman badai
krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di penghujung 1997, telah menghancurkan
sistem perekonomian bangsa-bangsa di kawasan Asia. Negara yang paling parah
merasakan terpaan krisi tersebut adalah Indonesia. Ini terjadi karena
perekonomian bangsa di bangun di atas dasar utang luar negeri, perilaku
spekulatif para pengusaha, kegiatan industri-dunia usaha yang menggunakan bahan
baku (suku cadang) iimpor, dan sikap abai-tepatnya sengaja melupakan terhadap
menfaat potensi sumberdaya lokal.
Keadaan ini berbeda
dengan yang terjadi di Thailand. Hancurnya sistem perekonomian langsung dan
segera direspons dengan sangat baik melalui pembangunan sektor-sektor yang
berbasis sumberdaya lokal seperti pertanian dan perikanan. Terbukti bahwa
kebijakan tersebut mampu memulihkan sistem perekonomian Thailand. Realitas ini
semestinya memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia untuk
menset-up ulang sektor-sektor yang
berbasis sumberdaya alam, seperti pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan.
Jadi, untuk proses
pemulihan (recovery) perekonomian
nasional dari hantaman badai krisis tersebut perlu mencari sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi baru yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantages) sangat tinggi.
Bertumpu pada resource-base industries yang
dibangun melalui penerapan ilmu pengetahuan sains-teknologi dan profesionalisme
(knowledge-based economy) tujuan utama yang ingin diwujudkan adalah menjadi
bangsa yang maju, makmur, dan berkeadilan.
Salah satu sektor yang
berbasis sumberdaya lokal yang sekaligus memiliki keunggulan kompetitif adalah
sektor perikanan dan kelautan. Keunggulan kompetitif dari sektor ini disokong
oleh dari keunggulan komparatif (comparative
advantages) karena telah terbukti bahwa di era krisis ekonomi dan moneter
sektor ini tetap engalami pertumbuhan yang positif pada waktu yang sama,
sektor-sektor lain mengalami pertumbuhan negatif (negative growht), khususnya sektor perindustrian yang menggunakan
bahan baku (suku cadang) impor. Keadaan ini menganaktirikan sektor perikan dan
kelautan. Catatan yang lebih penting tindakan segera untuk membuat sesuatu
kebijakan yang mendukung (kondusif) pembangunan di sektor ini. Kebijakan ini
dipandang penting karena kebijakan pembangunan nasional pada masa-masa
sebelumnya yang terlalu menekan sektor industri telah terbukti gagal dalam
membangun bangsa.
REORIENTASI KE LAUT
Paradigma
terestratrial atau pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan daratan (continental orientation) yang bersifat
feodalistik sebagai produk sejarah Penduduk Koloni Belanda (OVC) atas indonesia
telah tumbuh mengakar kuat sehingga kondisi tersebut melemahkan pemikiran dan
jiwa masyarakat indonesia sebagai masyarakat maritim yang bersifat egaliter-kosmopolit dan memiliki
kekayaan sumberdaya laut yang melimpah. Di sisi lain, pimpinan tertinggi bangsa
yang berasal dari TNI AD ini telah melupakan pembangunan kelautan ini terbukti
dengan semakin berkurangnya pembangunan pertahanan dan keamanan laut. Dengan
kata lain , TNI AL kurang kurang mendapat perhatian dan fasilitas yang layak.
Arah pembangunan selama ini dicanangkan terlalu menekangkan pada pendayagunaan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan daratan (continental orientation). Keadaan inilah yang mengakibatkan
hancurnya beberapa sumberdaya alam yang ada di darat.
Untuk
mengoptimalkan peran maritim dalam kehidupan negara, menurut Sarwono
Kusimaatmadja, diperlukan perubahan paradigma kehidupan negara menuju negaramaritim
yang sangat kuat. Asumsi tersebut didasarkan pada alasan-alasan:
1.
Kewilayahan. Indonesia dengan dua pertiga luas
wilayahnya adalah lautan menempatkan diri sebagai negara maritim terbesar di
dunia yang ditaburi pulau yang memiliki panjang pantai terpanjang ke dua di
dunia setelah Kanada, yaitu 18.000 km.
2.
Sumberdaya alam. Pembangunan pesisir dan laut
yang memiliki potensi suberdaya dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar
di dunia (megabiodiversity)
berpeluang untuk di kembangkan dan menjadi sektor unggulan (leading sector) guna mendukung kegiatan dan progam pembangunan nasional.
Pembangunan tersebut meliputi: (1) sumberdaya alam yang dapat dipebaharui (renewble resourches) termasuk ikan,
udang, kerang-kerangan, kepiting, moluska, rumput laut, hutan mangrov, hewan
karang dan biota laut lainnya; (2) sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui (non-renewble resourches)
seperti minyak bumi dan gas, termasuk barang-barang tambang lainnya; (3) energi
kelautan seperti pasang-surut, angin, gelombang dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan (4) jasa lingkungan (enviromental service), termasuk kegiatan
transportasi-komunikasi lewat laut dan pariwisata. Sayangnya, kontribusi sektor
perikanan dan kelautan baru mencapai 22% sebuah nilai yang sangat mengenaskan.
Dikatakan mengenaskan karena kondisi ini tidak sesuai dengan wilayah laut
indonesia yang sangat mencengangkan. Bila di bandingkan dengan RRC yang
memiliki luas wilayah laut yang jauh lebih kecil, sektor kelautannya telah
menyumbangkan nilai ekonomi sekitar 48% (Danuri,2001).
3.
Sejarah. Secara historis, sebelum terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nenek moyang kita telah memiliki
armada laut yang sangat kuat (seapower)
dari niaga hingga angkatan perang. Mereka berjaya pada masa kerajaan Majapahit,
Sriwijaya, Ternate dan Tidore dengan jiwa bahari yang melekat kental dan memiliki
kultur-budaya yang kosmopolit, terbuka, terintegrasi, dan outward looking. Ini berbeda dengan pemikiran daratan atau
terestrial yang terlalu berfikir sempit (inward
looking).
TANTANGAN
DAN PELUANG
Untuk menyongsong abad dua puluh satu yang penuh
tantangan, sekaligus peluang, sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi
sektor andalan guna mendukung pembangunan perekonamian bangsa yang sedang
“pailit” Namun, untuk merealisasikan harapan tersebut, pembangunan perikanan
dihadapkan pada beberapa tantangan antara lain adalah perdagangan bebas (free trade).
Perdagangan
bebas yang dihembuskan oleh kaum kapitalis negara-negara maju (negara barat)
ibarat pedang bermata dua (double edged
swords). Di satu sisi, ia menyimpan peluang (opportunities) yang sangat besar karena penurunan hambatan tarif
dan nontarif yang selama ini menjegal produk pertanian dan perikanan dari
negara-negara berkembang (deloping
countries) seperti Asia dan Afrika ke pasar internasional. Di sisi lain,
perdagangan bebas itu menjadi media baru bagi penyeluruhan hegemoni
ekonomi-politik dan negara maju (core)
atas negara setengah maju (semiperyphery)
dan negara berkembang (peryhery),
seperti pemasakan penghapusan subsidi dan melakukan proteksi produk.
Dapat
dikatakan pula bahwa pelaksanaan perdagangan memiliki dampak yang lebih
kompleks sehingga kegiatan pembangunan perikanan ke depan harus dilaksanakan
secara koordinatif-interaktif dari petani ikan atau nelayan hingga pemerintah.
Ini harus dilakukan untuk mengantisipasi dan mensiasati isu global dan
perdagangan Internasional, seperti isu-isu kualitas (ISO 9000), lingkungan (ISO
14000), preperty right, responsible
fisheries, precautenary approach, hak asasi manusia (HAM), dan
ketenaga-kerjaan. Di sisi lain, peluang untuk pembangunan bangsa melalui
pendayagunaan sektor perikanan dan kelautan sangat besar karena kebutuhan
terhadap bahan pangan baik nasional (domestik) maupun intternasional (global)
akan selalu meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, selain
karena telah hancurnya sumberdaya-sumberday yang ada di daratan.
Keadaan
tersebut memberi peluang dan harapan yang sangat besar bagi stake holders (pihak terkait) masyarakat
perikanan, dari pemerintah selalu policy
marker hingga masyarakat bawah (grass-roots)
petani ikan ataau nelayan untuk selalu melakukan pencarian (eksplorasi) dan pemanfaatan (eksploitasi) sumber bahan pangan yang bergizi dan berprotein tinggi
dengan biaya relatif murah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar