Pages

Jumat, 12 Desember 2014

PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA





Indonesia dianugrahi sebagai Negara Kepulauan (achipelagic state) terbesar di dunia. Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa Bahari yang ditunjukkan oleh berbagai peradapan Kerajaan Nusantara dalm berinteraksi dengan komunitas dunia sehingga Indonesia sebetulnya juga adalah Negara Maritim (coastal state). Namun, karena para penjajah yang melihat kekayaan Nusantar baik laut maupun darat yang sangat berlimpah berusaha keras untuk menguasai dan menghancurkan Karakteristik bangsa Bahari seperti tegas, terbuka, kosmopolit, dan menmbus kedangkalan serta kekerdilan berfikir (outward looking). Setelah era Kemerdekaan, ternyata, tradisi sebagai bangsa yang pernah dijajah sedemikian lama oleh berbagainegara belum juga berubah dikatakan belum berubah karena kebijakan pembangunan Indonesia terlalu berorientasi dan lebih bertumpu pada daratan (continental orientation), padahal harus disadari bahwa luasnya dan potensi besar ekonomi laut Nusantara secara geografis dan geopolitis sangatlah strategis. Karena itu, sudah seharusnya potensi darat dan laut yang sangat besar itu disatukan menjadi kekuatan dalam membangun bangsa demi Kesejahteraan masyarakat Nusantara.

Ketidakseimbangan dalam kebijakan pembangunan tersebut akhirna mengakibatkan bidang kelautan ini belum bisa berbuat banyak untuk membangun perekonomian bangsa ketidakberdayaan yang sangat ironis padahal bangsa-bangsa besar lainnya di dunia selalu dimulai dengan besarnya kekuatatn maritim. Lebih dari itu, marginalisasi kelautan telah menciptakan kompleksitas permasalahan bangsa yang sangat takut, dari mulai keterpurukan ekonomi (illegal fishing), kerawanan politik (penyelundupan) hingga terancamnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan di pesisirdan lautan hingga kini tidak bisa dilepaskan dari strategi kaum kolonisalis dalam menghancurkan peradapan tertinggi masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari seperti yang telah diungkap diatas. Sebelumnya terciptanya kerdilisasi jiwa masyarakat Nusantar oleh “kaum kolonialis”, warga Nusantara telah berkemampuan untuk berlayar sampai ke Ghana, Afrika Selatan. Perjalanan perdagangan rempah-rempah yang dikenal dengan nama “rute kayu manis” (the cinnamon route) yang kemudian telah dibuktikan oleh ekspedisi Kapal Borobudur dari 15 Agustus 2003-23 Februari 2004. Ekspedisi yang dinahkodai oleh kapten (laut) I Gusti Putu Ngurah sedana ini untuk menengaskan kembali bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah bangsa yang menguasai kelautan dan mendapatkan manfaat dari go international pada zamanya.

Berkaca pada cermin yang sangat jernih itu, yaitu sejarah kebaharian bangsa, kebijakan pembangunan Indonesia ke depan seharusnya mengedepankan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pesisir dan laut (maritime orientational) untuk kemudian dipadukan dengan pembangunan di darat. Karena pembangunan dan kelautan bersifat multisektoral dan lintas departemen, serta lingkagenya yang sangat erat aantara laut dan adarat, diperlukan kerja sama antarinstitusi negara yang dipayungi oleh kebijakan nasional, yaitu, ocean policy, sehingga egisme dan friksi antarsektor yang kerap muncul pada masa lalu dapat dieliminir. Lembaga-lembaga negara yang terkait dalam pembangunan kelautan, yakni eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, antara lain, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pertahanan, Kepolisian Republik Indonesia, Perhubungan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Peristrian, Perdagangan, Keuangan, Lingkungan Hidup serta, TNI AL maupun DPR dan DPRD.

Harapan pembangunan kelautan dan perikanan menjadi prime mover bagi perekonomian nasional, sebagaimana yang terjadi di negara-negara maaritim lainnya, semoga dapat diwujudkan. Bagaimanapun, terwujunya harapan ini akan mampu mengangkat Harkat-Martabat bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk akibat gerusan krisis moneter hingga krisis moral. Di tengah meningkatnya pembangunan nasional, kehadiran buku yang ditulis oleh ke empat aktivis dan peneliti muda ini memiliki nilai penting yang sangat strategis dalam memahami kompleksitas permasalahan kelautan dah perikanan. Dalam buku ini para penulis menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan kelautan sekarang ini dihadapkan pada rendahnya pemahaman para pemimpin bangsa tentang budaya masyarakat Bahari, sangat rendahnya SDM Kelautan Indonesia, ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan Kedaulatan Nasional yang disajikan dalam bahasa yang kritis khas orang muda.

Para penulis juga membahas tentang berbagai tentang berbaagai permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi di wilayah laut, dari pemberdayaan “keterlibatab” masyarakat lokal hingga keberlanjutan sumber daya (sustainability development). Topik yang berkenaan dengan kebijakan perikanan tangkap yang menyimpan setumpuk permasalahan tidak luput dari kritikan cerdas para penulis, khususnya tentang kentalnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Permasalaham klasik lainnya tak kunjung berakhir adalah kemiskinan nelayan dan program pemberdayaan yang tidak tepat  sasaran. Terkait dengan itu, tulisan tersebut diharapkan dapat ditafsirkan sebagai kepedulian kaum muda kepada masa depan bangsa sehingga dicari penyelesaian yang sebaik-baiknya.

Masyarakat Bahari, khususnya nelayan Indonesia, hingga kini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (viscious circle). Panjang pantai 81.000 km dan luasnya laut beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan. Kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan hingga saat ini diibaratkan dengan tikus yang mati di lubang padi. Mengapa mereka miskin, padahal mereka hidup di tengah-tengah kekayaan sumberdaya laut yang sangat potensial? Mubaryo (1984) menemukan data fakta bahwa kemiskinan yang terjadi di masyarakat nelayan, khususnya yang berdomisili di daerah pesisir pantai (desa-desa pantai) lebih miskin jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor community).

Saya sambut baik penerbitan buku yang disajikan oleh para penulis muda ini dalam rangka menunjukan konsistensinya dalam berpikir dan upaya pengembangan wacana tentang pembangunan kelautan dan perikanan pada masa depan. Terlebih lagi buku ini disusun oleh kaum muda yang kental dengan idealisme berpikir untuk kemajuan bangsa. Kami berharap buku selain memberi tambahan pustaka bagi para akademis, peneliti, mahasiswa, pembuat kebijakan dan masyarakat luas, juga mampu menjadi wacana yang sangat terbuka untuk didiskusikan sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi dalam membangun bangsa. Semoga buku ini dapat memicu pemikiran kritis para pembaca sehingga mainstream pembangunan kelautan bagi kejayaan bangsa Indonesia di laut demi kesejahteraan rakyat di penjuru Nusantara dapat di tumbuh-kembangkan kembali.

MEMBANGUN PARADIGMA NEGARA MARITIM

Akibat hantaman badai krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di penghujung 1997, telah menghancurkan sistem perekonomian bangsa-bangsa di kawasan Asia. Negara yang paling parah merasakan terpaan krisi tersebut adalah Indonesia. Ini terjadi karena perekonomian bangsa di bangun di atas dasar utang luar negeri, perilaku spekulatif para pengusaha, kegiatan industri-dunia usaha yang menggunakan bahan baku (suku cadang) iimpor, dan sikap abai-tepatnya sengaja melupakan terhadap menfaat potensi sumberdaya lokal.

Keadaan ini berbeda dengan yang terjadi di Thailand. Hancurnya sistem perekonomian langsung dan segera direspons dengan sangat baik melalui pembangunan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya lokal seperti pertanian dan perikanan. Terbukti bahwa kebijakan tersebut mampu memulihkan sistem perekonomian Thailand. Realitas ini semestinya memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia untuk menset-up ulang sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam, seperti pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan.

Jadi, untuk proses pemulihan (recovery) perekonomian nasional dari hantaman badai krisis tersebut perlu mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantages) sangat tinggi. Bertumpu pada resource-base industries yang dibangun melalui penerapan ilmu pengetahuan sains-teknologi dan profesionalisme (knowledge-based economy) tujuan utama yang ingin diwujudkan adalah menjadi bangsa yang maju, makmur, dan berkeadilan.

Salah satu sektor yang berbasis sumberdaya lokal yang sekaligus memiliki keunggulan kompetitif adalah sektor perikanan dan kelautan. Keunggulan kompetitif dari sektor ini disokong oleh dari keunggulan komparatif (comparative advantages) karena telah terbukti bahwa di era krisis ekonomi dan moneter sektor ini tetap engalami pertumbuhan yang positif pada waktu yang sama, sektor-sektor lain mengalami pertumbuhan negatif (negative growht), khususnya sektor perindustrian yang menggunakan bahan baku (suku cadang) impor. Keadaan ini menganaktirikan sektor perikan dan kelautan. Catatan yang lebih penting tindakan segera untuk membuat sesuatu kebijakan yang mendukung (kondusif) pembangunan di sektor ini. Kebijakan ini dipandang penting karena kebijakan pembangunan nasional pada masa-masa sebelumnya yang terlalu menekan sektor industri telah terbukti gagal dalam membangun bangsa.

REORIENTASI KE LAUT
            Paradigma terestratrial atau pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan daratan (continental orientation) yang bersifat feodalistik sebagai produk sejarah Penduduk Koloni Belanda (OVC) atas indonesia telah tumbuh mengakar kuat sehingga kondisi tersebut melemahkan pemikiran dan jiwa masyarakat indonesia sebagai masyarakat maritim yang bersifat egaliter-kosmopolit dan memiliki kekayaan sumberdaya laut yang melimpah. Di sisi lain, pimpinan tertinggi bangsa yang berasal dari TNI AD ini telah melupakan pembangunan kelautan ini terbukti dengan semakin berkurangnya pembangunan pertahanan dan keamanan laut. Dengan kata lain , TNI AL kurang kurang mendapat perhatian dan fasilitas yang layak. Arah pembangunan selama ini dicanangkan terlalu menekangkan pada pendayagunaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan daratan (continental orientation). Keadaan inilah yang mengakibatkan hancurnya beberapa sumberdaya alam yang ada di darat.
            Untuk mengoptimalkan peran maritim dalam kehidupan negara, menurut Sarwono Kusimaatmadja, diperlukan perubahan paradigma kehidupan negara menuju negaramaritim yang sangat kuat. Asumsi tersebut didasarkan pada alasan-alasan:
1.      Kewilayahan. Indonesia dengan dua pertiga luas wilayahnya adalah lautan menempatkan diri sebagai negara maritim terbesar di dunia yang ditaburi pulau yang memiliki panjang pantai terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada, yaitu 18.000 km.
2.      Sumberdaya alam. Pembangunan pesisir dan laut yang memiliki potensi suberdaya dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar di dunia (megabiodiversity) berpeluang untuk di kembangkan dan menjadi sektor unggulan (leading sector) guna mendukung kegiatan dan progam pembangunan nasional. Pembangunan tersebut meliputi: (1) sumberdaya alam yang dapat dipebaharui (renewble resourches) termasuk ikan, udang, kerang-kerangan, kepiting, moluska, rumput laut, hutan mangrov, hewan karang dan biota laut lainnya; (2) sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewble resourches) seperti minyak bumi dan gas, termasuk barang-barang tambang lainnya; (3) energi kelautan seperti pasang-surut, angin, gelombang dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan (4) jasa lingkungan (enviromental service), termasuk kegiatan transportasi-komunikasi lewat laut dan pariwisata. Sayangnya, kontribusi sektor perikanan dan kelautan baru mencapai 22% sebuah nilai yang sangat mengenaskan. Dikatakan mengenaskan karena kondisi ini tidak sesuai dengan wilayah laut indonesia yang sangat mencengangkan. Bila di bandingkan dengan RRC yang memiliki luas wilayah laut yang jauh lebih kecil, sektor kelautannya telah menyumbangkan nilai ekonomi sekitar 48% (Danuri,2001).
3.      Sejarah. Secara historis, sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nenek moyang kita telah memiliki armada laut yang sangat kuat (seapower) dari niaga hingga angkatan perang. Mereka berjaya pada masa kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Ternate dan Tidore dengan jiwa bahari yang melekat kental dan memiliki kultur-budaya yang kosmopolit, terbuka, terintegrasi, dan outward looking. Ini berbeda dengan pemikiran daratan atau terestrial yang terlalu berfikir sempit (inward looking).

TANTANGAN DAN PELUANG

Untuk menyongsong abad dua puluh satu yang penuh tantangan, sekaligus peluang, sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi sektor andalan guna mendukung pembangunan perekonamian bangsa yang sedang “pailit” Namun, untuk merealisasikan harapan tersebut, pembangunan perikanan dihadapkan pada beberapa tantangan antara lain adalah perdagangan bebas (free trade).
            Perdagangan bebas yang dihembuskan oleh kaum kapitalis negara-negara maju (negara barat) ibarat pedang bermata dua (double edged swords). Di satu sisi, ia menyimpan peluang (opportunities) yang sangat besar karena penurunan hambatan tarif dan nontarif yang selama ini menjegal produk pertanian dan perikanan dari negara-negara berkembang (deloping countries) seperti Asia dan Afrika ke pasar internasional. Di sisi lain, perdagangan bebas itu menjadi media baru bagi penyeluruhan hegemoni ekonomi-politik dan negara maju (core) atas negara setengah maju (semiperyphery) dan negara berkembang (peryhery), seperti pemasakan penghapusan subsidi dan melakukan proteksi produk.
            Dapat dikatakan pula bahwa pelaksanaan perdagangan memiliki dampak yang lebih kompleks sehingga kegiatan pembangunan perikanan ke depan harus dilaksanakan secara koordinatif-interaktif dari petani ikan atau nelayan hingga pemerintah. Ini harus dilakukan untuk mengantisipasi dan mensiasati isu global dan perdagangan Internasional, seperti isu-isu kualitas (ISO 9000), lingkungan (ISO 14000), preperty right, responsible fisheries, precautenary approach, hak asasi manusia (HAM), dan ketenaga-kerjaan. Di sisi lain, peluang untuk pembangunan bangsa melalui pendayagunaan sektor perikanan dan kelautan sangat besar karena kebutuhan terhadap bahan pangan baik nasional (domestik) maupun intternasional (global) akan selalu meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, selain karena telah hancurnya sumberdaya-sumberday yang ada di daratan.

            Keadaan tersebut memberi peluang dan harapan yang sangat besar bagi stake holders (pihak terkait) masyarakat perikanan, dari pemerintah selalu policy marker hingga masyarakat bawah (grass-roots) petani ikan ataau nelayan untuk selalu melakukan pencarian (eksplorasi) dan pemanfaatan (eksploitasi) sumber bahan  pangan yang bergizi dan berprotein tinggi dengan biaya relatif murah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 

0 komentar:

Posting Komentar