Pages

Jumat, 12 Desember 2014

SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA DI WILAYAH PERAIRAN LAUT INDONESIA


PROPOSAL PENELITIAN







  

Disusun oleh:

Silma Anis Robaya
H1K013034
Ilmu Kelautan



JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

PROPOSAL SKRIPSI: SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA

JUDUL: SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA DI WILAYAH PERAIRAN                         LAUT INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Selama ini perhatian masyarakat terhadap wilayah teritorial Indonesia masih kurang sehingga pemahaman peraturan perundang-undangan khususnya tidak pidana yang terjadi di laut teritorial Indonesia belum memasyarakat.
            Kurangnya perhatian masyarakat disebabkan karena masyarakat belum memahami potensi yang ada di wilayah laut teritorial. Nelayan yang sehari-hari hidup dari penangkapan ikan pada umumnya belum menggunakan teknik modern. Penelitian-penelitian terhadap potensi-potensi yang ada di laut wilayah teritorial masih sangat minimum. Nahkoda-nahkoda kapal, penumpang, pengangkut barang antar pulau, kapal-kapal layar, nelayan, perusahaan pelayar maupun warga Negara Indonesia perlu memahami peraturan perundang-undangan tentang laut wilayah teritorial agar dengan demikian diharapkan untuk ikut serta berperan serta meneggakkan peraturan perundang-undangan di laut wilayah teritorial.
            Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban merupakan suatu kondisi yang wajib di lakukan untuk menciptakan situasi yang memungkinkan terselenggaranya pembangunan nasional. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa kemampuan penegakan di darat, laut, dan udara. Tercapainya kedaulatan di darat dan di laut maka sumber-sumber kekayaan alam dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan bangsa di segala bidang.
            Penyelenggaraan penegakan kedaulatan di darat tidak sesulit dan serumit penegakan kedaulatan di laut karena batas wilayah Negara di darat secara nyata dapat dibuat dan dilihat, lain halnya dengan penegakan kedaulatan di laut karena sangat sulit menentukan batas –batas nyata di laut berhubung dengan sifat laut yang berbeda dengan daratan. Penegakan kedaulatan di laut, tidak dapat dilaksanakan tanpa memahami wilayah-wilayah teritorial serta peraturan perundang-undangan yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut, yang secara keseluruhan hakekatnya bersifat dan bertujuan untuk ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan dengan memperhatikan hubungan-hubungan internasional.
            Wilayah perairan terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan. Wilayah perairan biasa disebut dengan “laut teritorial”. Yang dimaksud dengan wilayah perairan adalah kedaulatan Negara tertentu atas bagian tertentu dari laut. Dahulu ada pendapat bahwa kedaulatan atas laut teritorial hanya atas beberapa kekuasaan tertentu. Pendapat tersebut selanjutnya mengutarakan bahwa laut adalah kepunyaan bersama, tatapi Negara pantai yang berada dekat dengan laut memiliki kekuasaan tertentu. dengan demikian pendapat tersebut bukan kedaulatan penuh karena tidak banyak yang mendukung. Pendapat yang umum adalah bahwa laut teritorial merupakan wilayah kedaulatan penuh dari Negara pantai tertentu. sebagai wilayah kedaulatan penuh maka Negara yang berdaulat berkewenangan mengatur segala sesuatu di wilayah laut teritorial tertentu. semua wajib menghormati peraturan-peraturan yang ditetapkan di peraturan-peraturan internasional. Di Indonesia pembatasan oleh hukum internasional dimuat oleh Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Berlakunya Pasal 2-5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan yang diakui datum antar Negara”. Berdasarkan hal-hal diatas penulis memberanikan diri untuk menulis karya ilmiah ini dengan judul “Tindak Pidana di Wilayah Perairan Laut Indonesia”
B.     Perumusan Masalah
            Berbicara mengenai tindak pidana wilayah perairan laut di Indonesia mencakup aspek yang sangat luas, untuk itu dibuat perumusan masalah agar pembahasannya hanya bertitik tolak dari judul karya ilmiah, yaitu sebagai berikut:
1.      Seberapa jauhkan ketentuan tindak pidana mengatur tindak pidana yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ?
2.      Seberapa jauhkah ketentuan pidana mengatur tindak pidana perikanan yang terjadi di perairan Indonesia ?
3.      Upaya-upaya apa sajakah yang telah dilakukan dalam mengatur tindak pidana yang terjadi di perairan Indonesia dalam konteks wawasan nusantara ?

C.    Tujuan Penelitian
            Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memecahkan permasalan tindak pidana di perairan laut Indonesia. Seperti kita ketahui Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan mempunyai sumber kekayaan laut yang melimpah, untuk itu perlu adanya peraturan hukum yang tegas untuk mengatasi segala kegiatan-kegiatan yang illegal yang terjadi di perairan laut Indonesia. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan tindak pidana di perairan Indonesia dan mencari rumusan yang tepat untuk mengatasinya.
D.    Hipotesis Penelitian
Menurut PPKI (2000:12) “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya”. Sehubungan dengan permasalahan penelitian ini yaitu mengenai suatu tinjauan tentang tindak pidana di wilayah perairan laut Indonesia, hipotesis yang diajukan adalah:
Ha:      Adanya pengaruh yang signifikan antara pelaku tindak pidana yang melanggar       peraturan yang dilakukan di wilayah perairan laut Indonesia dengan peraturan yang    di buat.
Ho:      Tidak adanya pengaruh yang signifikan antara pelaku tindak pidana yang melanggar          peraturan yang dilakukan di wilayah perairan laut Indonesia dengan peraturan yang di buat.

Hipotesis yang diajukan selanjutnya akan diuji kebenarannya dengan bantuan statistik dengan data-data yang terkumpul.
E.     Manfaat Penelitian
            Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah merupakan sumbangan pemikiran bagi upaya penanggulangan tindak pidana di perairan laut Indonesia, sehingga diharapkan sumber kekayaan alam laut Indonesia tetap terjaga kelestariaanya dan dapat mencapai upaya penanggulangan tindak pidana di perairan laut Indonesia.
F.     Sistematika Penulisan
BAB I:            Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Hipotesis Penelitian,                  Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II:           Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan terhadap tindak pidana Zona           Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang mengulas tentang pengelolaan,         pencemaran, sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum oleh             penyidik dan tindak    pidana hukum.
BAB III:         Bab ini membahas tentang Metodelogi Penelitian meliputi meliputi definisi             operasional dari variabel dalam penelitian ini.
BAB IV:         Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi        kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    TINDAK PIDANA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
1.      Kegiatan Pengelolaan
Hal yang utama dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dirumuskan pada salah satu pertimbangan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1993, yang menyatakan bahwa sumber daya alam yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air di atasnya harus dilindungi dan dikelola dengan cara yang tepat, terarah dan bijaksana.
Rumusan diatas sejalan dengan “Konvensi Daataran Kontinental” yang merumuskan:“Negara pantai mengusahakan segala tindakan yang layak untuk melindungi sumber- sumber hayati dari bahaya”Jadi dapat dipahami bahwa pengelolaan harus dengan cara tepat terang dan bijaksana agar tetap lestari dan terlindungi.
Mengenai pengelolaan tersebut pada penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dimuat antara lain:
“Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hanya di Zona Ekonomi  Eksklusif Indonesia, maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, Negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang Indonesia belum memanfaatkan seluruh sumber daya alam tersebut”
Dengan menunjuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka Negara yang berminat memanfaatkan sumber daya alam hayati tersebut terlebih dahulu meminta izin kepada pemerinta Republik Indonesia.
Tetapi untuk bermaksud melakukan pengelolaan, tentang Negara yang bersangkutan terlebih dahulu melakukan penelitian ilmiah. Hal tersebut diperkenankan berdasarkan Pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983, asalkan Negara yang bersangkutan meminta izin kepada pemerintah Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dengan penjelasan Pasal 7 dicantumkan antara lain:
Apabila dalam jangka waktu 4 bulan setelah diterimanya permohonan tersebut, pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan:
a.             Menolak permohonan tersebut, atau
b.            Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon tidak sesuai                            dengan kenyataan atau kurang lengkap, atau
c.             Bahwa permohonan belum mematuhi kewajiban alas proyek penelitiannya              yang terdahulu, maka suatu proyek penelitian ilmiah dapat dilaksanakan                               enam bukan sejak diterimanya permohonan penelitian oleh pemerintah                                 Republik Indonesia.
            Rumusan diatas sangat tepat karena menempatkan proyek penelitian ilmiah merupakan hal yang terpenting dan tanpa alasan yang wajar, tidak dapat dihalangi karena penelitian ilmiah tersebut perlu untuk ilmu dan kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini, terhadap warga Negara Indonesia yang melakukan eksplorasi diperlukan peraturan yang sama yakni terlebih dahulu memohonkan izin dari pemerintah.
            Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1985 tersebut dititik beratkan pada “tata cara penangkapan ikan; belum mengatur semua sumber daya alam hayati” yang ada dilautan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal tersebut sesungguhnya kurang tepat tetapi karena pemerintahan kemungkinan belum dapat menentukan keseluruhan sumber daya alam hayati yang hidup di dalam laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia maka baru mengenai ikan yang diatur pengelolaannya.
            Memang merupakan suatu hal yang irasional, dapat melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tanpa mengetahui inti dari lingkungan laut tersebut. Seyogiyanya pemerintah Republik Indonesia dalam waktu yang tidak begitu lama, merencanakan dan melaksanakan penelitian dan eksplorasi sehingga benar-benar mampu memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
2.       Pencemaran Lingkungan Laut
            Pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 dimuat ketentuan tentang upaya untuk mencegah pencemaran lingkungan laut. Perumusan tersebut merupakan perumusan ulang dari konvensi Jenewa yang telah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961. Mengenai perumusan tersebut dirumuskan dalam 2 (dua) Undang-undang dimaksudkan bahwa :
            - Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961 merupakan keperluan internasional.
            - Undang-undang nomor 5 tahun 1983 merupakan keperluan internasional.
            Apakah tepat demikian? Jika dimaksudkan untuk mengulang perumusan tersebut agar lebih dipahami setiap anggota masyarakat maka hal demikian tidak keliru.
            Untuk mencegah pencemaran lingkungan laut maka ditentukan bahwa pembuangan limbah dapat dilakukan setelah izin untuk itu diperoleh kecuali pembuangan limbah yang biasanya dilakukan oleh kapal selama pelayaran.
            Terhadap perbuatan pencemaran lingkungan laut, diwajibkan membayar ganti rugi dalam 2 (dua) hal yakni :
            - biaya rehabilitasi lingkungan laut;
            - kerusakan sumber daya alum. (Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 tahun 1983).                Tetapi hal tersebut menurut penjelasan Pasal 8 adalah berdasarkan Konvensi     Perserikatan Bangsa-bangsa sedang secara nasional diatur dalam Undang-undang             Nomor 23 Tahun 1997.
            Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ditentukan arti lingkungan hidup sebagai berikut : "Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya".
            Pengertian atau persepsi "lingkungan hidup" dengan rumusan sebagai tercantum di atas, sulit dipahami. Dan di segi bahasa kita "lingkungan hidup" terdiri dari kata-kata "lingkungan" dan "hidup". Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (terbitan : Balai Pustaka 1989) dimuat :
1) Di daerah (kawasan tersebut) yang termasuk di dalamnya;
2) Bagian wilayah di kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa;
3) Golongan kalangan berasal dari bangsawan;
4) Semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan.
            Yang paling tepat, adalah rumusan butir 4. Jika diformulasikan dengan butir 4 maka arti lingkungan hidup ada lab semua yang mempengaruhi pertumbuhan kehidupan manusia atau hewan.
            Namun rumusan tersebut pun, masih kurang lengkap karena yang hidup bukan manusia atau bewail saja tetapi juga tumbuh-tumbuhan. Seyogianya rumusan yang lebih lengkap adalah : "Semua yang mempengaruhi pertumbuhan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan (makhluk hidup)".
            Dalam bahasa Inggris dikenal kata "environment" yang dalam "The Lexicon Webster Dictionary, Volume I dirumuskan artinya sebagai berikut : All the physical, social and cultural factors and conditions influencing the existence or development of on organism or assemblage of organisms (semua fisik, sosial dan faktor-faktor dan kondisi kebudayaan yang mempengaruhi eksistensi atau perkembangan makhluk hidup).
            Rumusan dalam bahasa inggris di atas, sebenamya cukup dapat dimengerti. Yang utama dalam pengertian lingkungan hidup adalah yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dari makhluk hidup lainnya.
            Selain dari arti lingkungan hidup maka hal yang perlu dipahami adalah pencemaran lingkungan yang artinya dimuat dalam Pasal 1 butir 7 undang-undang nomor 23 Tahun 1997 sebagai berikut :
            "Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kuning titan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan        peruntukannya".
            Rumusan arti pencemaran lingkungan sebagaimana tercantum di atas merupakan hal yang perlu disimak dengan seksama sebagai inti dari pada undang-undang, Nomor 23 Tahun 1997. Disebut sebagai inti karena tinjauan dan maksud Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 pada hakikatnya adalah mencegah pencemaran lingkungan.
            Untuk membantu penyimakan pencemaran lingkungan diutarakan hal sebagai berikut :
            Lingkungan tidak dapat berfungsi lagi sebagaimana yang diharapkan. Kenapa ? Karena adanya makhluk hidup zat/energi/komponen lain masuk kedalam lingkungan atau adanya perbuatan manusia sehingga tatanan lingkungan.
            Misalnya dibuangnya limbah limba ke laut yang mengakibatkan tumbuhan dan ikan mati di tempat pembuangan tersebut.
            Keberhati-hatian dalam hal ini perlu dilakukan agar dapat dibuktikan bahwa tumbuh-tumbuhan dun ikan mati sebagai akibat dari pembuangan limbah kimia tersebut. Untuk itu diperlukan keterangan ahli yang mungkin akan mengadakan penelitian sehingga dapat membuat kesimpulan.
3. Sanksi Hukum Pencemaran Lingkungan.
            Sanksi hukum perbuatan pencemaran lingkungan berdasarkan Undang-undang nomor 23 Tahun 1997 terdiri dari :
a. membayar ganti rugi (Pasal 20)
b. hukuman pidana :
            - dengan sengaja, diancam maksimal 10 tahun penjara dan atau denda maksimal                  Rp.100.000.000,- (Pasal 22 ayat 1);
            - dengan kelalaian, diancam pidana kurungan maksmimal I tahun kurungan dan atau          denda Rp.1.000.000,-
a. Membayar ganti rugi.
            Besarnya kerugian tergantung dari kerusakan dan pencemaran yang terjadi. Guna menentukan besarnya "ganti rugi" Pemerintah membentuk tim peneliti yang terdiri dari :
- pihak penderita/kuasanya;
- pihak pencemar/kuasanya;
- unsur pemerintah.
            Selain dari kerugian dan pencemaran, juga kepada perusak atau pencemar dibebani biaya "pemulihan lingkungan hidup".
b. Hukuman Pidana.
            Hukuman pidana sebagaimana yang tercantum di atas tidak bersifat alternatif dengan pembayaran ganti rugi, melainkan masing-masing berdiri sendiri artinya meskipun si perusak/pencemar telah membayar ganti rugi, ia tetap dituntut ganti hukuman pidana. Terhadap "hukuman pidana" dan "ganti rugi" sebagaimana diutarakan di atas, penanganannya agar memperhatikan Bab XIII KUHAP tentang "Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian". Penuntut Umum dapat mengajukan "ganti rugi" dan biaya "pemulihan lingkungan hidup" untuk dari alas nama Pemerintah. Hal ini tidak perlu diragukan karena dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 (Pasal 2 ayat (I)) telah merumuskan bahwa Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Yang menjadi permasalahan dalam hal "ganti rugi" ini adalah "pihak penderita". Berdasarkan Pasal 98 ayat 2 KUHP maka pihak yang menderita hanya dapat mengajukan permintaan ganti rugi sebelum penuntut minim mengajukan tuntutan pidana".
            Guna mencegah keragu-raguan menerapkan Undang-undang nomor 23 Tahun 1997 (ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup) dalam Zona Ekonomi eksklusif Indonesia maka Pasal 16 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 memuat rumusan sebagai berikut :
            “Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lingkungan hidup" .
            Dengan memperhatikan rumusan Pasal 16 ayat (3) di alas, nampaknya terjadi ketidaksempurnaan, karena "tindak pidana" pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan dengan "kelalaian", tidak dapat diterapkan dalam zone Ekonomi Eksklusif Indonesia. Apakah rumusan Pasal 16 ayat 3 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 keliru atau memang tindak pidana pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan kelalaian tidak dapat diterapkan dalam zone Ekonomi eksklusif Indonesia ?
            Pasal 16 ayat 3 nampaknya seolah-olah keliru tetapi dengan memperhatikan tindak pidana zone ekonomi eksklusif Indonesia, maka Pasal 16 ayat 3 tidak keliru karena tidak ada tindak pidana Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang dilakukan dengan kelalaian.
4. Tindak Pidana Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia.
            Tindak pidana Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 adalah sebagai berikut :
a.       Pasal 5 ayat 1;
b.       Pasal 6:
c.        Pasal 7;
d.       Pasal 17;
e.        Pasal 20 ayat (2).
            Sedang tindak pidana pengrusakan/pencemaran lingkungan dalam zone Ekonomi Indonesia, termasuk tindak pidana melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997.
            Untuk lebih memahami tindak pidana Zona Ekonomi Indonesia, khususnya unsur-unsur delik, perlu pembahasan dan pengamatan secara cermat, agar penerapannya tidak keliru.
a. Pasal 5 ayat (I).
            Pasal 5 ayat 1 undang-undang nomor 5 tahun 1983 memuat tindak pidana yang rumusannya sebagai berikut : "Barangsiapa melakukan eksplorasi atau eksploitasi sumber dalam alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk dieksplorasi dan atau, eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona ekonomi eksklusif Indonesia tanpa izin dari Pemerintah Republik Indonesia atau tanpa persetujuan internasional dengan pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut.
            Unsur-unsur delik Pasal 5 ayat 1 adalah :
- Barangsiapa’
Sebagian pakar berpendapat bahwa "barangsiapa" tidak sebagai misty tetapi sesuai dengan ketentuan hukum, maka pelaku/doer/dader merupakan unsur "barangsiapa".
- Melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi sumber daya alam.
Eksplorasi ialah penyelidikan dan penjajakan daerah yang diperkirakan mengandung mineral berharga dengan jalan survei geologi, survey geolisik, atau pengeboran dengan tujuan menemukan depsos dan mengetahui luas wilayahnya. Eksploitasi adalah pengusahaan, mendayagunakan.
- Tanpa izin pemerintah atau tanpa persetujuan internasional atau tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada izin at-au dalam persetujuan internasional.
b. Pasal 6.
            Pasal 6 dari undang-undang nomor 5 tahun 1983 berbunyi : "Barang siapa membuat dan atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi-instalasi atau bangunan- bangunan lainnya di zone ekonomi Eksklusif Indonesia harus berdasarkan izin Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut". Unsur-unsur delik Pasal 6 adalah sebagai berikut :
i.                    barangsiapa. Penjelasan sesuai dengan ada di atas.
ii.                  membuat/menggunakan; pulau-pulau buatan; instalasi-instalasi; bangunan-bangunan
iii.                di Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini diatur Pasal 2.
iv.                tanpa izin Pemerintah Republik Indonesia atau tidak memenuhi syarat-syarat perizinan yang diberikan.
c. Pasal 7.
            Pasal 7 Undang-undang nomor 5 tahun 1983 berbunyi : "Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia".
            Unsur-unsur delik pasal 7 tersebut di atas adalah :
- Barangsiapa. Penjelasan sesuai dengan ada di atas;
            Melakukan kegiatan penelitian ilmiah dimaksud adalah sebagaimana ditentukan Pasal 1 butir c yakni : "Namun kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut dan tanah di bawahnya";
- Tanpa persetujuan/izin pemerintah Republik Indonesia atau tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam izin tersebut.
d. Pasal 17.
            Pasal 17 dari UU No. 5 Tahun 1983 berbunyi sebagai berikut : "barang siapa merusak atau memusnahkan barang- barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dengan maksud untuk menghindarkan tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah)". Tindak pidana dimaksud Pasal 16 ayat
(1) adalah yang telah diuraikan pada a, b, c, d di atas.
            Perkataan "merusak" dalam Pasal ini sesungguhnya kurang tepat jika dihubungkan dengan "pembuktian" karena "dalam keadaan rusak" masih dapat dipergunakan sebagai "alat bukti". Tetapi kata "memusnahkan" memang telah tepat karena barang-barang, yang musnah sudah terang tidak dapat dijadikan "barang bukti".
e. Pasal 20 ayat (2).
            Pasal 20 ayat (2) dari UV No 5 Tahun 1983 berbunyi sebagai berikut :
"Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini dapat mencantumkan pidana denda setinggi-tingginya Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) terhadap pelanggaran ketentuan- ketentuannya".
            Pasal 20 ayat (2) tersebut di atas pada hakekatnya adalah pemberian kekuasaan berdasarkan Undang-Undang atas Peraturan Pemerintah untuk mencantumkan sanksi-sanksi berdasarkan Pasal 20 ayat (2) tersebut di alas.
5. Penyidik Tindak Pidana ZEE Indonesia
            Hal ini diatur oleh Pasal 14 ayat (I) yang berbunyi sebagai berikut : "Aparat penegak hukum di bidang penyidikan di Zone Ekonomi Eksklusif. Indonesia adalah ZPerwira TNI-AL, yang ditunjuk PANGAB Republik Indonesia".
            Aparat "penyidik" tindak pidana yang terjadi di laut, agar tidak terjadi kekeliruan perlu dipahami dengan cermat. Adanya berbagai tindakan pidana di laut yang menunjuk dan menentukan aparat penyidik masing-masing. Untuk jelasnya diutarakan hal-hal sebagai berikut :
1. Tindak Pidana UMUM yang diatur dalam Bab XXXIX KUHP. Dalam hal ini penyidik adalah POLRI/POLAIR.
2. Tindak Pidana Pelayaran, Pandu Laut, Kesyah-bandaran, penyidikan dilakukan PPNS dan POLRI.
3. Tindak Pidana ZEEI penyidikan dibebankan kepada Perwira TNI-AL yang ditunjuk PANGAB.
4. Tindak Pidana Perikanan, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI-AL dan PPNS-Perikanan.
            Dalam hal "tertangkap tangan" semua penyidik tersebut di atas dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur oleh KUHAP, tetapi aparat penyidik tersebut wajib menyerahkan penanganannya kepada aparat penyidik yang berwenang yakni yang ditunjuk Undang-Undang yang bersangkutan.
            Pada Tindak Pidana ZEEI tentang "barang bukti" ada perbedaan dengan KUIIAP. Pada tindak pidana ZEEI, barang bukti yang berupa kapal dan peralatan-peralatan dapat dibebaskan dengan uang jaminan yang besarnya ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 yang penjelasan resminya sebagai berikut:"Penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda maksimum".
6. Sanksi Hukum Tindak Pidana ZEE.
            Sanksi hukum tindak pidana ZEEI ditentukan dalam Pasal 16 berupa pidana denda setinggi-tingginya Rp. 225.000.000,-
            Perlu dipahami dengan seksama bahwa pidana denda dalam tindak pidana ZEEI tidak dapat disubsidairkan dengan kurungan. Sanksi hanya semata-mata pidana denda. Kedaulatan suatu negara pada wilayah ZEEI merupakan kedaulatan terbatas. Lain halnya dengan tindak pidana di "taut teritorial", karena di "kaut teritorial" negara pantai dimaksud mempunyai kedaulatan penuh.

B. TINDAK PIDANA PERIKANAN
1. Arti Perikanan.
            Perikanan diatur oleh undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang, Perikanan. Pada Pasal 1 butir I dimuat arti "perikanan" sebagai berikut :
            "Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan".
            Arti "perikanan" tersebut di alas, pada butir 3 Pasal 1 dimuat arti "pengelolaan sumber daya ikan sebagai berikut :
            "Pengelolaan sumber daya ikan" adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secant optimal dan berlangsung secara terus menerus".
            Kata "Pengelolaan" berasal dari kata "Kelola" yang dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan" diartikan sebagai: "mengelola (1) mengendalikan, menyelenggarakan; (2) menjalankan, mengurus ....".
             Dalam kata "pengelolaan" telah tercakup makna efisiensi dengan tujuan keuntungan. Dengan perkataan lain, digunakan manajemen sehingga dalam bahasa Inggris, kata kelola dapat diterjemahkan to manage, to control, to organize, executive. Artinya "pemanfaatan sumber daya ikan" di muat pada butir 4 Pasal 1 sebagai berikut : "Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan "
            Pengertian "sumber daya ikan" dimuat pada butir 2 Pasal I sebagai berikut : "Sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya".
            Kata "biota" berarti semua flora fauna yang terdapat di sesuatu daerah. Mengenai kata "semua jenis ikan" dijelaskan pada penjelasan resmi Pasal I yakni : Pisces, Crustacea, Mollusca, Coelenterata, Echinodermata, Amphibia, Reptilia, Mammalia, Algae, Biota perairan lainnya.
            Berdasarkan rumusan/arti kata-kata sebagaimana dicantumkan di atas maka arti "perikanan" dapat dirumuskan secara sederhana sebagai berikut :
"perikanan adalah kegiatan/usaha yang dilakukan secara manajemen dan ilmu ekonomi terhadap sumber daya ikan (semua jenis ikan dan biota perairan)".
            Dimaksud dalam rumusan di utas, tidak secara keseluruhan jenis ikan dan biota, tetapi dapat dilakukan terhadap salah satu atau lebih jenis ikan biota.
2. Wilayah Perikanan
            Wilayah perikanan diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 yang bunyinya sebagai berikut "wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi :
a. Perairan Indonesia;
b. Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia;
c. Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia."27
            Wilayah tersebut pada butir a, b, c, telah dibicarakan pada Bab-Bab terdahulu; yang perlu disimak dalam hal ini adalah penjelasan resmi Pasal 2 huruf b tentang "genangan air lainnya" yang rumusannya sebagai berikut :
            Yang dimaksud dengan "genangan air lainnya" yaitu genangan air di daratan yang terjadi secara   ilmiah untuk waktu yang lama atau sementara yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penangkapan atau pembudidayaan ikan. Termasuk dalam pengertian ini yaitu tambak dan kolam ikan yang diusahakan".
            Wilayah perikanan yang diutarakan di atas, dimaksudkan dalam rangka diperlakukan Undang-undang Perikanan.
            Dalam hal ini, dikecualikan nelayan dan petani ikan kecil sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (2) yang bunyinya sebagai berikut :
            "Nelayan dan petani ikan kecil atau perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
3. Tindak Pidana Perikanan
            Tindak Pidana Perikanan berdasarkan Pasal 28 terdiri dari "kejahatan" dan "pelanggaran". Yang termasuk kejahatan adalah :
            - Tindak pidana yang diatur Pasal 24;
            - Tindak pidana yang diatur Pasal 25.
Sedang termasuk "pelanggaran" adalah :
            - Tindak pidana yang diatur Pasal 26;
            - Tindak pidana yang diatur Pasal 27.
            Agar penerapan tindak pidana tersebut tidak keliru, di bawah ini akan dibahas unsur-unsur masing-masing tindak pidana tersebut.
            Tindak pidana perikanan yang diatur dalam Pasal 24 mencantumkan pelanggaran terhadap Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (1) memuat unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
a. setiap orang/badan hukum;
b. melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan;
c. menggunakan bahan/alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya.
            Rumusan Pasal 6 ayat (1), berbeda dengan yang umum karena pada umumnya rumusan terhadap "pelaku" biasanya dipergunakan kata " barang siapa". Dengan rumusan "setiap orang/badan hukum" maka "pelaku" tindak pidana tersebut adalah "setiap orang" yang telah ikut terlibat dalam perbuatan tersebut. Pemahaman tentang deelneming memegang peranan agar dapat menentukan pemahaman masing-masing.
            Dikaitkannya "badan hukum" merupakan hat yang positif karena dengan demikian "pidana denda" dapat dibebankan kepada kekayaan badan hukum dan ini merupakan unsur pertama.
            Unsur kedua yakni "melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan", masing-masing pengertiannya dimuat dalam Pasal 1 yakni :
            a. Penangkapan ikan adalah yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan yang dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan mendinginkan, mengolah atau mengawetkannnya (Pasal 1 butir 6).
            b. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya.
            Unsur ketiga yakni menggunakan bahan/alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dim lingkungan yang dijelaskan dalam penjelasan resmi Pasal 6 ayat (1) yang antara lain mengutarakan sebagai berikut:
 "Penggunakan bahan peledak, bahan beracun, aliran listrik dun lain-lain tidak saja mematikan ikan, tetapi dapat pula mengakibatkan kerusakan pada lingkungan atau bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
            Tindak pidana yang diatur Pasal 7 ayat (1) memuat unsur- unsur sebagai
berikut :
- setiap orang/badan hukum.
- melakukan perbuatan.
- mengakibatkan pencemaran dun kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungan.
            Unsur pertama, tidak beda dengan uraian di atas yakni unsur pertama Pasal 6 ayat (1).
            Unsur kedua mencakup pengertian yang dimuat pada Pasal 63 KULP.
            Unsur ketiga tidak terlepas dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997.
            Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dimuat tentang arti "pencemaran lingkungan", "perusakan lingkungan" antara lain sebagai berikut :
            “Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat energi dun atau komponen lain di dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya".
            "Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap dan atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi datum menunjang pembangunan yang berkesinambungan".
            Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 25 terdiri dari butir a dan butir b karena kapal yang digunakan berbeda ukuran.
            Pasal 25 butir a memuat unsur-unsur sebagai berikut:
- Melakukan usaha penangkapan ikan.
- Tanpa izin.
- Menggunakan kapal motor berukuran 30 gros ton atau lebih.
            Pasal 25 butir b mernuat unsur-unsur sebagai berikut:
- Melakukan usaha penangkapan ikan.
- Tanpa izin.
- Menggunakan kapal motor berukuran kurang dari 30 gros ton.
            Pengertian unsur-unsur di atas cukup jelas khususnya mengenai "penangkapan ikan" telah memuat artinya pada uraian di atas.
            Terhadap tindak pidana pelanggaran sebagaimana diatur Pasal 26 dan Pasal 27 pada dasarnya merupakan pelanggaran administrasi yakni izin atau syarat- -syarat/Ketentuan Menteri sedang Pasal 27 butir b berkenan dengan pengeluaran/pemasukan ikan dari/ke wilayah Republik Indonesia.
4. Sanksi Tindak Pidana Perikanan
            Sanksi tindak pidana perikanan yang ditentukan sebagai "kejahatan" adalah :
- Selama-lamanya 5 tahun penjara dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (pelanggaran Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1).
- Selama-lamanya 5 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (pelanggaran, Pasal 25 butir a).
- Selama-lamanya 2 tahun 6 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 25.000.000._
            Sanksi tindak pidana perikanan yang ditentukan sebagai "pelanggaran" adalah :
- Selama-lamanya 6 bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya Rp. 25.000.000,- (Pasal 26).
- Denda setinggi-tingginya 10. 5.000.000,- (Pasal 4, Pasal 20).
5. Pencurian Than
            Pencurian ikan sebenarnya telah diatur dalam KUHP. Hendaknya dapat dipahami "pencurian ikan" yang diatur didalam KUHP dan "pencurian ikan" yang diatur dalam Undang-undang Perikanan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, jika pencurian ikan dilakukan dengan penggunaan bahan peledak, bahan beracun, aliran listrik dan lain-lain yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan atau mengakibatkan kepunahan maka hal tersebut melanggar Undang,-undang No. 9 tahun 1985. 
            Tetapi jika mencuri dilakukan misalnya dengan pancing, jala dan lain-lain di mana tidak mungkin merusak lingkungan atau tidak mungkin mengakibatkan kepunahan maka perbuatan tersebut termasuk "pencurian" yang diatur KUHP.
6. Penyidik
            Pada tindak pidana ZEEI, yang berwenang melakukan penyidikan adalah perwira TN1-AL yang ditunjuk PANGAB (Pasal 14 ayat (1) Undang-undang ZEEI).
            Pada tindak pidana perikanan, kewenangan penyidik dibebankan kepada perwira TNI-AL yang ditunjuk PANGAB dan PPNS serta Perikanan (Pasal 31 Undang-undang Perikanan). Sedangkan tata cara/mekanisme penyidikan dilakukan berdasarkan KUHAP.




BAB III
METODELOGI PENELITIAN
1.      Studi Literatur
Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal dari studi literatur yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya karya ilmiah ini. Studi literatur ini didapatkan dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, internet, dan sebagainya.

2.      Prosedur Pengumpulan Data
Data-data diperoleh dengan pengumpulan data yang didapat dari internet, buku, dan jurnal ilmiah nasional dan international. Karya tulis ilmiah ini ditulis dan dibuat dengan menggunakan aturan Bahasa Indonesia yang baku dengan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan, sederhana, dan jelas.

3.      Metode Analisa dan Pemecahan Masalah
1.      Diskusi
2.      Komparasi
3.      Analisa mendalam









BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.                  Dahulu sebelum era industrialisasi, maka hubungan antar pulau atau antar bangsa yang dipisahkan dengan taut/ lautan, dilakukan dengan perahu, perahu layar yang berkembang menjadi kapal motor dan terakhir dengan kapal terbang. Dengan demikian merupakan suatu kebutuhan untuk mengatur ketertiban dan keamanan dan ketertiban terhadap lalu lintas di taut serta isi kapal, awak kapal maupun penumpang kapal. Dengan kebutuhan akan keamanan/ketertiban tersebut maka dibuat aturan-aturan dalam hukum pidana yang di Indonesia dimuat pada Bab XXIX tentang Kejahatan Pelayaran. Dengan kemajuan teknologi kemudian diketahui potensi dan kekayaan yang terkandung di &dam taut. Hal ini perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agar supaya hat tersebut dapat tercapai maka diperlukan perlindungan guna menjaga dari kerusakan atau kepunahan. Dengan demikian dapat dimengerti jika hal-hat tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.      Bahwa tindak pidana di wilayah perairan laut Indonesia merupakan suatu hat yang oleh pemerintah harus diperhatikan sebab mengingat laut Indonesia yang begitu luas dan sulit dijangkau oleh aparat yang berwenang sehingga bisa dimungkinkan oleh para pelanggar-pelanggar hukum melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU serta ketentuan-ketentuan mengenai kelautan, misalnya pelanggaran atau tindak pidana di kawasan ZEE Indonesia yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1983, pencemaran lingkungan taut yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997, perikanan yang diatur oleh UU No 9 tahun 1985.
3.      Semua tindak pidana di perairan (laut) wilayah Indonesia tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan yang karenanya mempunyai sanksi pidananya sesuai dengan perundang-undangan yang mengaturnya.


B. SARAN
            Dalam upaya penegakan hukum di perairan Indonesia, untuk mencegah segala tindak pidana di perairan ini, maka diperlukan kesamaan persepsi di antara para aparat penegak hukum, apakah Kepolisian (Polair), Bea Cukai, Intigrasi, Kejaksaan, Pengadilan dalam menangani tindak pidana ini. Di samping itu juga lebih memperketat penetapan sanksi bagi para pelaku tindak pidana di perairan Indonesia.


















DAFTAR PUSTAKA
Anonimous., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Aprilani, S., The Oceanographic Features of Southeast Asia Waters, Souteast Asian Seas for                            Development, ISMS, 1981.
Hamzah, A., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Hukum Laut, Pradnya                                Paramita, Jakarta, 1987.
Koesnadi, H., Hukum Tata Lingkungan, UGM Press, Yogyakarta, 1985.
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Likadja F.E., dan Bessie, D. F., Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia        Indonesia,                Jakarta, 1997.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987.
Prodjodikoro, W., Asas-Asas Iluk14171 Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta-Bandung, 1974.
Purwaka, T. H., Pelayaran Antar Pulau Indonesia, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Bumi Aksara,                    Jakarta, 1993.


0 komentar:

Posting Komentar