Pages

Kamis, 20 November 2014

Kajian Empiris Kebijakan Kelautan dan Perikanan “Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir”


Sejalan dengan naseat dari seorang kawan, wartawan “National Geographic” bahwa seberapa bobroknya suatu hal, tapi optimislah ketika harus berbicara soal negaramu”


        “Kita melihat rumah – rumah nelayan yang sempit, kecil, berdempet – dempet. Kadang bau amis juga sangat menyengat di sekitar situ, terkesan kumuh”. Itulah ungkapan masyarakat umum yang sedang berlalu – lalang di sekitar tempat tinggal masyarakat nelayan. Mewah atau tidak, kotor atau bersih, bukanlah pointnya. Tapi, ini menjadi suatu pertanda bahwa kehidupan nelayan belum sepenuhnya baik. Jika terdapat rumah – rumah bertehelkan keramik pun, mungkin beberapa. Karena diantara mereka adalah nelayan – nelayan “berkedudukan” dengan status pemilik kapal, ataupun pemberi modal (pengambe’). Padahal, sederet kebijakan pemerintah sudah digelontorkan dan diusahakan bukan lagi wacana. Mungkinkah faktor birokrasi negeri ini yang terkenal ‘ruwet’ dan ‘korup’ ataukah pendekatan yang salah terhadap masyarakat nelayan?Stay here.

Potensi dan Retensi

          Kebijakan terhadap masyarakat nelayan, atau kebijakan bidang kelautan dan perikanan. Adalah sederet solusi yang diberikan pemerintah untuk mengatasi permasalahan di lautan. Tercatat dua puluh kasus lebih dalam sebulan tentang ranah ini, diantaranya kasus kekurangan alat – alat tangkap ikan modern, pengerukan hasil – hasil laut oleh kapal – kapal asing, dan yang sudah pasti, masalah kemiskinan nelayan (Suhana, 2012).

           Sejenak terlintas dalam bayangan bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi kelautan luar biasa (baik reneweble dan non – reneweble resources). Dengan luas 5,8 juta km2 (580 juta ha), dapat menghasilkan peningkatan produksi perikanan rata – rata 25,24% dan 5,37 ton untuk perikanan tangkap dalam kurun waktu 5 tahun (2004 – 2009) (Data Dirjen Kelautan dan Perikanan). Potensi yang bahkan mampu menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara penghasil ikan terbesar di dunia (Fauzi, 2010). Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara bio – diversity terbesar saat ini. Ironis, tak sejalan dengan kesejahteraan nelayan sebagai pelaku utama ranah kelautan, apa sebab?

           Selain potensi, Indonesia pun juga memiliki retensi. Suasana laut yang berstatus “open access” dan “rus nullius”, yang berarti bersifat terbuka dan tidak dimiliki siapapun sampai ikan atau hasil laut berhasil ditangkap seseorang. Nyatanya, cukup berakibat pada pengerukan besar – besaran pada ekosistem laut. Apalagi setelah munculnya kebijakan modernisasi perikanan (tahun 1970-an) yang membuat jurang lebar antara nelayan tradisional dan modern. Berdampak pada tidak seimbangnya areal tangkapan di lautan. Artinya, ada suatu keadaan dimana salah satu wilayah di laut (baca : di bagian pesisir atau tengah laut), mengalami pengurangan ekosistem. Sehingga akan muncul suatu keadaan overfishing, dimana nelayan sudah tidak dapat lagi melakukan kegiatan melaut kerna memang ikan – ikan disana sudah jarang. Belum lagi saat kegiatan ekspor berjalan yang dimiliki oleh pihak – pihak swasta berindustri besar. Nelayan sebagai pelaku utama, tak mungkin dapat berkompetensi dengan orang – orang ini, jadilah salat satu sebab mengapa nelayan belum sejahtera. bahkan masih berpendapatan 7 – 10 dollar AS pertahun (Kompas, 3 Juli 2003).

Program PEMP

         Telah kita cermati seberapa besar potensi dan retensi ranah kelautan dan perikanan Indonesia. Menurut Gordon (1954), perikanan yang tidak diatur (irregulated) akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat optimal, overinvestasi dan overfishing pun akan terjadi. Pemerintah, tentu sudah berbuat banyak untuk hal ini. Berbagai kebijakan pun telah dikeluarkan, diantaranya menyangkut pemberdayaan masyarakat nelayan. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan. Definitifnya merupakan program pemberdayaan yang diselenggarakan pemerintah ‘lagi – lagi’ untuk mensejahterakan kehidupan nelayan. Dengan berbasis pada sumberdaya lokal dan berkelanjutan, dicanangkanlah program PEMP pada tahun 2001.

          Sebuah kebijakan, yang berorientasi pada masyarakat nelayan dulu ‘tidak berdaya’ namun kini haruslah ‘berdaya. Program pemberdayaan masyarakat nelayan dilaksanakan dengan menggunakan 5 pendekatan pemberdayaan, seperti : diverfikasi pekerjaan, peningkatan teknologi (technology based), pasar (marked based), modal (count), dan solidaritas (kebersamaan dan kerjasama). Masyarakat nelayan yang diberdayakan menerima berbagai bantuan diantaranya ; pemberian bantuan berupa hibah sebesar 5 – 10 juta rupiah kepada masing – masing kelompok nelayan (< 90 nelayan) untuk pemodalan, bantuan 100 juta rupiah untuk perumahan, pembenahan infrastruktur (ex : penyedian pom bensin khusus nelayan), kesehatan, serta pendidikan. Selain itu, direncanakan bentuk Lembaga Keuangan Mikro) yang memang secara khusus dibuat untuk kebutuhan nelayan itu sendiri, yakni pengetahuan dan fasilitas tentang perbankan yang selama ini tidak tersedia bagi nelayan. Diantaranya seperti Koperasi Swamitra Mina, Mina Ventura, dan asuransi nelayan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012) 

   


    Tentu bukan menjadi soal gampang untuk menerapkan program ini, dimana setiap implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing – masing daerah. Penanggung jawabnya adalah pemerintah daerah bekerjasama dengan badan perencana daerah (bappeda), departemen kelautan dan perikanan daerah, departemen perhubungan, kaum intelektual di universitas, serta tentunya, masyarakat nelayan itu sendiri.


            Kebijakan kelautan dan perikanan Indonesia. Meski pada faktanya selalu ‘terseok – seok’ oleh berbagai kendala, seperti : kemacetan dana pada pihak yang diberi tanggung jawab, pendekatan yang salah ketika memperkenalkan pada masyarakat nelayan, ataupun mungkin sosialisasi yang masih kurang dimengerti oleh kaum pesisir. Namun, saya rasa optimis saja hal – hal besar itu akan berjalan di rel yang semestinya. Sejalan naseat dari kawan, wartawan “National Geographic” bahwa seberapa bobroknya suatu hal, tapi optimislah ketika harus berbicara soal negaramu”

0 komentar:

Posting Komentar