Sejalan dengan naseat
dari seorang kawan, wartawan “National Geographic” bahwa seberapa bobroknya
suatu hal, tapi optimislah ketika harus berbicara soal negaramu”
“Kita melihat rumah –
rumah nelayan yang sempit, kecil, berdempet – dempet. Kadang bau amis juga
sangat menyengat di sekitar situ, terkesan kumuh”. Itulah ungkapan masyarakat
umum yang sedang berlalu – lalang di sekitar tempat tinggal masyarakat nelayan.
Mewah atau tidak, kotor atau bersih, bukanlah pointnya. Tapi, ini menjadi suatu
pertanda bahwa kehidupan nelayan belum sepenuhnya baik. Jika terdapat rumah –
rumah bertehelkan keramik pun, mungkin beberapa. Karena diantara mereka adalah
nelayan – nelayan “berkedudukan” dengan status pemilik kapal, ataupun pemberi
modal (pengambe’). Padahal, sederet kebijakan pemerintah sudah digelontorkan
dan diusahakan bukan lagi wacana. Mungkinkah faktor birokrasi negeri ini yang
terkenal ‘ruwet’ dan ‘korup’ ataukah pendekatan yang salah terhadap masyarakat
nelayan?Stay here.
Potensi dan Retensi
Kebijakan terhadap
masyarakat nelayan, atau kebijakan bidang kelautan dan perikanan. Adalah
sederet solusi yang diberikan pemerintah untuk mengatasi permasalahan di
lautan. Tercatat dua puluh kasus lebih dalam sebulan tentang ranah ini,
diantaranya kasus kekurangan alat – alat tangkap ikan modern, pengerukan hasil
– hasil laut oleh kapal – kapal asing, dan yang sudah pasti, masalah kemiskinan
nelayan (Suhana, 2012).
Sejenak terlintas dalam
bayangan bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi kelautan luar biasa (baik
reneweble dan non – reneweble resources). Dengan luas 5,8 juta km2 (580 juta
ha), dapat menghasilkan peningkatan produksi perikanan rata – rata 25,24% dan
5,37 ton untuk perikanan tangkap dalam kurun waktu 5 tahun (2004 – 2009) (Data
Dirjen Kelautan dan Perikanan). Potensi yang bahkan mampu menempatkan Indonesia
dalam 10 besar negara penghasil ikan terbesar di dunia (Fauzi, 2010). Dapat dikatakan
bahwa Indonesia sebagai negara bio – diversity terbesar saat ini. Ironis, tak
sejalan dengan kesejahteraan nelayan sebagai pelaku utama ranah kelautan, apa
sebab?
Selain potensi,
Indonesia pun juga memiliki retensi. Suasana laut yang berstatus “open access”
dan “rus nullius”, yang berarti bersifat terbuka dan tidak dimiliki siapapun
sampai ikan atau hasil laut berhasil ditangkap seseorang. Nyatanya, cukup
berakibat pada pengerukan besar – besaran pada ekosistem laut. Apalagi setelah
munculnya kebijakan modernisasi perikanan (tahun 1970-an) yang membuat jurang
lebar antara nelayan tradisional dan modern. Berdampak pada tidak seimbangnya
areal tangkapan di lautan. Artinya, ada suatu keadaan dimana salah satu wilayah
di laut (baca : di bagian pesisir atau tengah laut), mengalami pengurangan
ekosistem. Sehingga akan muncul suatu keadaan overfishing, dimana
nelayan sudah tidak dapat lagi melakukan kegiatan melaut kerna memang ikan –
ikan disana sudah jarang. Belum lagi saat kegiatan ekspor berjalan yang dimiliki
oleh pihak – pihak swasta berindustri besar. Nelayan sebagai pelaku utama, tak
mungkin dapat berkompetensi dengan orang – orang ini, jadilah salat satu sebab
mengapa nelayan belum sejahtera. bahkan masih berpendapatan 7 – 10 dollar AS
pertahun (Kompas, 3 Juli 2003).
Program PEMP
Telah kita cermati
seberapa besar potensi dan retensi ranah kelautan dan perikanan Indonesia.
Menurut Gordon (1954), perikanan yang tidak diatur (irregulated) akan cenderung
menempatkan upaya penangkapan pada tingkat optimal, overinvestasi dan
overfishing pun akan terjadi. Pemerintah, tentu sudah berbuat banyak untuk hal
ini. Berbagai kebijakan pun telah dikeluarkan, diantaranya menyangkut
pemberdayaan masyarakat nelayan. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat
nelayan. Definitifnya merupakan program pemberdayaan yang diselenggarakan
pemerintah ‘lagi – lagi’ untuk mensejahterakan kehidupan nelayan. Dengan
berbasis pada sumberdaya lokal dan berkelanjutan, dicanangkanlah program PEMP
pada tahun 2001.
Sebuah kebijakan, yang
berorientasi pada masyarakat nelayan dulu ‘tidak berdaya’ namun kini haruslah
‘berdaya. Program pemberdayaan masyarakat nelayan dilaksanakan dengan
menggunakan 5 pendekatan pemberdayaan, seperti : diverfikasi pekerjaan,
peningkatan teknologi (technology based), pasar (marked based), modal (count),
dan solidaritas (kebersamaan dan kerjasama). Masyarakat nelayan yang
diberdayakan menerima berbagai bantuan diantaranya ; pemberian bantuan berupa
hibah sebesar 5 – 10 juta rupiah kepada masing – masing kelompok nelayan (<
90 nelayan) untuk pemodalan, bantuan 100 juta rupiah untuk perumahan,
pembenahan infrastruktur (ex : penyedian pom bensin khusus nelayan), kesehatan,
serta pendidikan. Selain itu, direncanakan bentuk Lembaga Keuangan Mikro) yang
memang secara khusus dibuat untuk kebutuhan nelayan itu sendiri, yakni
pengetahuan dan fasilitas tentang perbankan yang selama ini tidak tersedia bagi
nelayan. Diantaranya seperti Koperasi Swamitra Mina, Mina Ventura, dan asuransi
nelayan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012)
Kebijakan kelautan dan
perikanan Indonesia. Meski pada faktanya selalu ‘terseok – seok’ oleh berbagai
kendala, seperti : kemacetan dana pada pihak yang diberi tanggung jawab,
pendekatan yang salah ketika memperkenalkan pada masyarakat nelayan, ataupun
mungkin sosialisasi yang masih kurang dimengerti oleh kaum pesisir. Namun, saya
rasa optimis saja hal – hal besar itu akan berjalan di rel yang semestinya.
Sejalan naseat dari kawan, wartawan “National Geographic” bahwa seberapa
bobroknya suatu hal, tapi optimislah ketika harus berbicara soal negaramu”
0 komentar:
Posting Komentar